Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Rumah Seribu Pintu

30 Mei 2020   01:03 Diperbarui: 30 Mei 2020   21:03 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah seribu pintu | Photo by Mark Boss on Unsplash (unsplash.com/@vork)

"Kelilingi kota ini, Pak. Datangi semua kuda!"
Putri itu memang putri. Nada bicaranya adalah titah.

Mendung yang menggantung menumpahkan isi. Air hujan datang seperti menari. Tempias masuk, menyentuh kulit bening sang putri dan jubah kumal sang kelana. Rajawali juga berteduh di sebelah sang kusir.

Hujan pada sore itu memaksa keduanya saling merapat. Seperti aur dengan tebing, keduanya saling bersandar. Ketika minyak bertemu sumbu, ketika mesiu berjumpa api, udara meledak. Terang datang di dalam bendi itu.

Mereka berpagutan.

Berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu, bendi itu berputar pada seluruh pelosok kota. Tanpa putus asa. Tapi, kuda itu tetap tidak menunjukkan derapnya.

"Pak, kembali!"
Bendi itu memutar ke rumah seribu pintu. Putri menuntun Kelana pada pintu berwarna merah.
"Aku suka warna merah," ujar Putri.

Kelana terperanjat. Ia ingat masa lalunya. Semua warna baginya merah. Kitab yang ia bawa dan pelajari juga berwarna merah. Merahnya merah. Kini, ia berbaju hitam. Sejak terang hilang di bumi ini, Kelana menghindari warna merah.

"Hitam menyerap cahaya. Merah membakar jiwa," gumam Kelana, nyaris tak terdengar.

Di balik pintu itu, Putri menyajikan lagi buah kiwi dan secangkir teh. Sekuntum mawar merah terhidang pada sebuah wadah berisi air bening. Kelana melepaskan jubah hitamnya. Ia mencuci muka. Air hujan selalu mengandung belerang, sejak gunung-gunung meletus dan lanun tsunami membawa jelaga di negeri ini.

"Istirahatlah. Kisahkan lagi kisah-kisahmu," ujar Putri, sambil mengelap muka Kelana dengan handuk hangat. Bunyi tetesan hujan melentingkan nada biola dengan dawai angin. Mereka berpelukan.

Kelana tahu, Putri butuh kisah-kisah itu. Tentang kepedihan seorang pengembara. Tentang lelaki yang merindukan ibunya. Tentang ayah yang mengajarkan anaknya mendaki lereng gunung tinggi mengeja dunia. Tentang suami yang beristrikan cahaya pelangi. Juga kisah para Nabi yang lahir dalam usia tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun