"Kelilingi kota ini, Pak. Datangi semua kuda!"
Putri itu memang putri. Nada bicaranya adalah titah.
Mendung yang menggantung menumpahkan isi. Air hujan datang seperti menari. Tempias masuk, menyentuh kulit bening sang putri dan jubah kumal sang kelana. Rajawali juga berteduh di sebelah sang kusir.
Hujan pada sore itu memaksa keduanya saling merapat. Seperti aur dengan tebing, keduanya saling bersandar. Ketika minyak bertemu sumbu, ketika mesiu berjumpa api, udara meledak. Terang datang di dalam bendi itu.
Mereka berpagutan.
Berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu, bendi itu berputar pada seluruh pelosok kota. Tanpa putus asa. Tapi, kuda itu tetap tidak menunjukkan derapnya.
"Pak, kembali!"
Bendi itu memutar ke rumah seribu pintu. Putri menuntun Kelana pada pintu berwarna merah.
"Aku suka warna merah," ujar Putri.
Kelana terperanjat. Ia ingat masa lalunya. Semua warna baginya merah. Kitab yang ia bawa dan pelajari juga berwarna merah. Merahnya merah. Kini, ia berbaju hitam. Sejak terang hilang di bumi ini, Kelana menghindari warna merah.
"Hitam menyerap cahaya. Merah membakar jiwa," gumam Kelana, nyaris tak terdengar.
Di balik pintu itu, Putri menyajikan lagi buah kiwi dan secangkir teh. Sekuntum mawar merah terhidang pada sebuah wadah berisi air bening. Kelana melepaskan jubah hitamnya. Ia mencuci muka. Air hujan selalu mengandung belerang, sejak gunung-gunung meletus dan lanun tsunami membawa jelaga di negeri ini.
"Istirahatlah. Kisahkan lagi kisah-kisahmu," ujar Putri, sambil mengelap muka Kelana dengan handuk hangat. Bunyi tetesan hujan melentingkan nada biola dengan dawai angin. Mereka berpelukan.
Kelana tahu, Putri butuh kisah-kisah itu. Tentang kepedihan seorang pengembara. Tentang lelaki yang merindukan ibunya. Tentang ayah yang mengajarkan anaknya mendaki lereng gunung tinggi mengeja dunia. Tentang suami yang beristrikan cahaya pelangi. Juga kisah para Nabi yang lahir dalam usia tua.