Baik raja, pendekar, hingga bandit semacam Ken Arok, selalu menempelkan nama-nama yang diluar manusia sebagai deklarasi diri. Monas, misalnya, adalah alat kelamin Dewa Siwa dan Dewi Uma, satu lingga, satu yoni, namun tetap bernilai spiritual ketimbang sanggama.Â
Beratus situs arkeologi hingga sejarah memberi petunjuk betapa terdapat kekuatan ghaib yang diluar kemampuan manusia sebagai pesan terkuatnya.
Bisa saja, Profesor Yudian Wahyudi tak lengkap menjelaskan maksud dari kalimatnya. Sebagaimana juga Sukarno yang hanya menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam risalah rapatnya.Â
Toh Sukarno terus mencoba untuk memberikan pemahaman yang sesederhana mungkin, termasuk dalam penugasan sejumlah tim pascaproklamasi. Tim yang membuat Lambang Negara, misalnya. Atau tim yang menarasikan bendera Sang Saka Merah Putih.
Mohammad Yamin perlu menerbitkan buku "600 Tahun Sang Merah Putih" yang jauh dari selesai pada tahun 1953. Kesimpulan betapa Sang Merah Putih adalah bendera yang dipakai pasukan Jayakatwang (Kediri) dalam menghadapi Kartanegara (Singosari) masih bisa dipertanyakan.Â
Bagaimana mungkin Indonesia menggunakan bendera "kaum pemberontak" dalam makna Singosari?Â
Belum lagi misteri dibalik ketakutan para penguasa untuk hadir ke Kediri, dari Indonesia kuna hingga Indonesia abad ke-21 sekarang. Bendera Kediri dipakai sebagai sang saka, sementara tanah Kediri tak hendak untuk diinjak sang penguasa negeri.
Jangan-jangan, musuh Pancasila itu adalah kalangan penguasa sendiri. Yang tak mendedahkan Pancasila sebagai mataair ilmu pengetahuan, tetapi justru mantra penuh kutukan.Â
Jangan heran, kalau Profesor Yudian Wahyudi lebih tampak bak dukun-dukun dari hutan rimba dengan jampi-jampinya, ketimbang guru besar yang sudah menyelesaikan mata kuliah logika, hermeneutika dan tata bahasa. Â Â
Jakarta, 13 Februari 2020