Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kabinet 19 Menteri Jokowi-Ma'ruf

12 Juli 2019   03:34 Diperbarui: 12 Juli 2019   06:15 6070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabinet Kerja (Foto: Setpres Cahyo)

Dengan cara seperti itu, bakal terjadi penggabungan sejumlah kementerian. Saya membayangkan, Kementerian Lingkungan Hidup disatukan dengan Kehutanan dan Kelautan. Soal sampah plastik yang masuk ke samudera kini menjadi isu global. India diperkirakan bakal menjadi gurun, akibat pemanasan global dan tingkat kecepatan pencairan es di kutub yang berlipat-lipat kali dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, misalnya.

Hutan dan laut menjadi area utama dalam pelestarian lingkungan hidup. Gabungan kementerian ini bakal menjadi karakter dasar bagi kementerian, yakni sebagai pihak yang kemungkinan besar berhadapan dengan para pengusaha dan "teroris" lingkungan. Karakter menteri dan ASN yang dibutuhkan tentunya yang berlatar-belakang aktivis, sekaligus mereka yang urat takutnya sudah putus.

Dua kementerian yang bakal digabungkan kembali adalah perindustrian dan perdagangan. Setelah kedua kementerian ini dipisahkan, urusan perizinan atau administrasi terpaksa melewati dua meja.

Dalam soal impor bawang putih, misalnya, bukan hanya menjadi tupoksi Kementerian Perdagangan, tetapi juga Kementerian Pertanian. Dalam impor garam, bahkan melibatkan tiga kementerian, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Dengan penggabungan Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, bakal lebih menjamin kecepatan tindak dari birokrasi yang bekerja. 

Mana lagi?

Nomenklatur pertanian, perkebunan dan perikanan yang juga termaktub dalam konstitusi, dijadikan satu. Frase "perkebunan" perlu disebutkan dalam nama kementerian, agar terlihat prioritas dari kementerian bersangkutan. 

Dibandingkan dengan jumlah lahan pertanian, bukankah perkebunan jauh lebih luas? Jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) juga lebih banyak, dibandingkan dengan yang bergerak di sektor pertanian dan perikanan. Nomenklatur pertanian, perkebunan dan perikanan benar-benar dijadikan sebagai ujung tombak bagi produktivitas pemerintah, termasuk dalam meningkatkan produksi produk.

Dalam pisau analisa Marxist, bidang pertanian, perkebunan dan perikanan benar-benar dijadikan sebagai alat produksi yang tidak boleh sembarangan dilepaskan kepada kalangan kapitalis. Agenda bertahap "nasionalisasi" lahan-lahan perkebunan yang selama ini dikelola oleh pengusaha multi-nasional, perlu disusun. Sebaliknya, pengusahaan lahan para petani oleh kalangan investor, layak dicegah dengan edukasi yang baik.

Yang bisa digabungkan lagi adalah nomenklatur hukum, hak asasi manusia, dan sosial. Artinya, Kementerian Hukum dan HAM digabungkan dengan Kementerian Sosial. Ketiganya saling berkaitan. Sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUH Pidana) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) juga perlu diubah. 

Salah satunya adalah mempertimbangkan pembatasan hukuman badan dalam bentuk lembaga pemasyarakatan. Jenis-jenis hukuman lain bisa diadopsi, baik dari hukum yang bersumberkan ajaran agama (misalnya yang dipraktekkan di Aceh dengan pilihan hukuman cambuk atau denda atau kurungan), maupun sistem hukum positif lain.

Sistem hukum Anglo Saxon juga bisa diadopsi. Singapura, misalnya, sama sekali tidak memberlakukan hukuman badan kepada terpidana korupsi. Yang terjadi adalah pemiskinan total, termasuk dengan menghilangkan dalam penerima Jaminan Sosial dan pengguna fasilitas publik. Di Amerika Serikat, kerja sosial masih menjadi bagian dari putusan yang dikeluarkan pengadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun