Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Hikayat Partai Beringin, Kini...

25 Mei 2019   13:11 Diperbarui: 28 Mei 2019   08:31 2653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya teringat dengan kampanye calon-calon presiden Amerika Serikat yang wajib mendatangi satu county (kecamatan) di New York. Walau pemilih di county itu sedikit, tetapi melambangkan akar umbi dari populasi pemilih yang beragam di Amerika Serikat.

Energi spartan yang dimiliki oleh Sandiaga Uno yang selalu datang ke area pasar juga menggerus pemilih diaspora Minang. Sebagai mantan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Pasar se-Indonesia yang menggantikan Prabowo Subianto, Sandi tentu ibarat datang ke rumah sendiri. Walau, belajar dari kegagalan Agus Harimurti Yudhoyono dalam kampanye dari pasar ke pasar di DKI Jakarta -- mengingat mereka yang bekerja di area pasar bukan warga yang memiliki KTP DKI Jakarta -- saya memandang partisipasi para pekerja di pasar dalam hari pemilihan bakal rendah.

Dugaan saya, mereka tidak akan sebanyak warga perdesaan dalam menyalurkan hak pilih di hari pemilihan. Ternyata, dugaan saya salah. Partisipasi pemilih luar biasa besar. Pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin ikut mendapatkan keuntungan, yakni bukan hanya pemilih perkotaan yang hadir di hari penyoblosan, tetapi juga pemilih perdesaan. Golput yang diperkirakan menanjak, justru tak berjejak dalam kotak suara.

Artinya, kekalahan Partai Golkar dari PDI Perjuangan dan Partai Nasdem di sejumlah lumbung suaranya memperlihatkan kekurang-tajaman dalam membaca situasi. Imbauan Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto untuk memasang gambar Jokowi -- Ma'ruf dalam alat-alat peraga Caleg-Caleg nasional ternyata tak merata diikuti.

Yang lebih mengenaskan lagi, jumlah pemilih yang menyoblos tanda gambar Partai Golkar, ternyata lebih banyak dibandingkan dengan peraih-peraih suara terbanyak di Dapil masing-masing. Angkanya sekitar 30%, berbanding 70% sisanya yang memilih sebaran nama Caleg-Caleg. Pemilih tradisional Partai Golkar yang sudah bisa membeda-bedakan warna surat suara, seperti tidak mengenali nama Caleg-Caleg yang diusung, baik di tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten dan kota.

Hilangnya debat-debat antar Caleg-Caleg partai politik dalam siaran-siaran televisi ternyata juga berakibat kepada kesulitan publik dalam menilai kualitas dan kapabilitas politisi masing-masing partai politik.

Sedari awal tahapan kampanye, saya sudah banyak mengeluarkan kritik pribadi melalui sosial media dan tulisan saban hari Rabu tentang kampanye Pileg yang senyap ini. Kampanye terbuka partai politik dalam rangka Pileg juga berada pada tahapan akhir masa kampanye serentak, berhimpitan dengan kampanye terbuka Capres dan Cawapres.

Debat-debat antar Capres-Cawapres yang meriah makin "menghimpit" keberadaan Caleg-Caleg partai politik. Akibat yang paling mengenaskan adalah terjungkalnya mayoritas juru bicara atau influencer dari pasangan Capres dan Cawapres dari kedua kubu, padahal mereka paling banyak tampil di media nasional. Publik lebih melihat mereka sebagai pendukung Capres-Cawapres, ketimbang kandidat legislator yang punya kecakapan dalam menjalankan fungsi parlemen apabila terpilih.

Keterbatasan waktu kampanye Pileg, kurang hadirnya perdebatan menyangkut visi-misi partai politik dalam agenda-agenda parlemen ke depan, serta kampanye pengerahan massa terbesar untuk pasangan Capres -- Cawapres yang digelar sehari atau seminggu sebelum tiga hari tenang; secara tidak langsung menutupi peluang keunggulan penampilan Caleg-Caleg partai politik. Rasa hambar pemilu legislatif itulah yang mengalir ke kotak suara, berupa kesulitan pemilih dalam mengenali calon-calon wakil rakyat mereka.

Pun, sampai hari ini, tetap saja primadona pemberitaan adalah turbulensi demi turbulensi terkait proses akhir Pilpres. Sengketa Pileg di Mahkamah Partai Politik atau diteruskan ke Mahkamah Konstitusi, sama sekali kehilangan dukungan, terutama akibat saksi yang entah ngumpet dimana.

Tak banyaknya public sphere, termasuk yang terbatas sekalipun, guna mempertemukan dan mempertengkarkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan oleh Caleg-Caleg antar partai ibarat membaca komik di kegelapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun