Mohon tunggu...
Indra J Piliang
Indra J Piliang Mohon Tunggu... Penulis - Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Ketua Umum Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara. Artikel bebas kutip, tayang dan muat dengan cantumkan sumber, tanpa perlu izin penulis (**)

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dua Putaran, Golput, dan Zona Afotik

23 Maret 2019   06:22 Diperbarui: 23 Maret 2019   11:18 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu| Sumber: Kompas TV

Bukan hanya calon-calon presiden dan calon-calon wakil presiden yang dianggap tidak mewakili aspirasi calon-calon pemilih golput ini, tetapi juga seluruh nama calon legislator pada semua tingkatan, lembaga dan partai. 

Mau calon-calon itu laki-laki atau perempuan, tua atau muda, terpelajar atau tidak, baru sekali menyalonkan diri atau sudah lebih dari sekali, petahana atau bukan.  

Banyak argumen yang diberikan oleh kawan-kawan yang menjadi bagian dari gerakan golput. Sebagian besar adalah ketidakpedulian pasangan calon presiden dan calon wakil presiden atas isu-isu yang menurut kawan-kawan ini penting dan relevan. 

Sementara, kepada partai-partai politik, terdapat banyak sekali catatan, keluhan, tuduhan, hingga jejak rekam partai politik -- yang notabene adalah area pertarungan antar anggota partai -- yang berujung kepada ketidakpercayaan.

Masalahnya, sampai sejauh ini, sama sekali belum ada usaha untuk membangun komunikasi antara penggerak-penggerak golput ini dengan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden menyangkut kepedulian masing-masing. Pintu-pintunya hampir tidak ada.

Begitu juga dengan partai-partai politik, sama sekali tidak atau kurang memiliki kesempatan guna menampung apa yang menjadi kekhawatiran dari kalangan yang hendak golput ini. 

Parlemen nasional, sebagai saluran aspirasi rakyat, juga seakan mengalami "mati suri" selama proses kampanye pemilu. Forum-forum dialog hanya berlangsung terbatas, termasuk perang opini di kalangan komunitas epistemologis.

Yang terasa dominan adalah kehendak dari kawan-kawan yang hendak golput ini untuk "menghukum" kontestan pemilu, baik pemilu presiden dan wakil presiden, maupun pemilu legislatif dengan dua kamar (bikameral) di tingkat nasional dan satu kamar di tingkat daerah.  

Sekalipun tidak melakukan kampanye atau mengajak orang lain untuk ikut golput, mengingat sentimen golput baru merupakan fenomena Jawa Centris -- atau bisa kena sanksi pidana -, terasa sekali golput mendapatkan pamor yang lebih luas dibandingkan dengan pemilu 2014. 

Badan Pengawas Pemilu juga tidak terlalu reaktif atau reaksioner dalam melakukan pengawasan, apalagi sampai melakukan proses penindakan, ketimbang memelototi bejibun laporan terkait hoaks atau ujaran kebencian.

Media sosial Indonesia lebih bebas dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk tiga negara tetangga: Malaysia, Singapura dan Thailand, dalam masa-masa kampanye pemilu. Undang-undang pemilu kita tidak serinci dan setebal undang-undang di negara lain yang mengatur hingga jam penggunaan media sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun