Mohon tunggu...
M.Indra
M.Indra Mohon Tunggu... School of Strategic and Global Studies, Universitas Indonesia Middle Eastern and Islamic Studies Program

Mahasiswa S2 Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia Program Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam, Peminatan Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Krisis Spiritualitas Modern : Refleksi Tauhid di tengah dunia yang bising

16 Oktober 2025   13:41 Diperbarui: 16 Oktober 2025   13:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Siluet seorang manusia merenung di tengah kota modern  (Sumber: OpenAI, 2025)

Oleh: Mohamad Indra Israqi

Mahasiswa Magister  SKSG Universitas Indonesia – Kajian Wilayah Timur Tengah dan Islam

Pendahuluan: Dunia Modern dan Jiwa yang Sepi

Manusia modern hidup dalam dunia yang terus bergerak dan bising. Notifikasi ponsel yang terus berdentang, arus media sosial yang tak pernah berhenti, berita yang datang secara nonstop, serta tuntutan pekerjaan yang semakin kompleks menciptakan ritme kehidupan yang padat dan menuntut perhatian penuh. Di permukaan, kemajuan teknologi ini tampak sebagai simbol pencapaian manusia — efisiensi, konektivitas, dan kemudahan akses informasi. Namun, di balik semua kemajuan ini, terdapat paradoks yang semakin nyata: manusia modern sering merasa hampa, gelisah, dan kehilangan arah.
Fenomena seperti “sibuk tapi kesepian”, “terhubung tapi terasing”, dan “informasi melimpah tapi makna hilang” bukan sekadar ungkapan hiperbolik, melainkan refleksi dari krisis eksistensial yang mendalam. Kesibukan yang tiada henti sering membuat manusia lupa untuk merenung, untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hidupnya, dan untuk memahami hubungan dirinya dengan orang lain, alam, maupun Tuhan. Alih-alih menghadirkan kepuasan, kemudahan teknologi dan akses informasi justru menimbulkan kebisingan mental dan spiritual, yang pada gilirannya memicu stres, kecemasan, dan perasaan terasing.
Secara sosiologis, modernitas menekankan nilai-nilai individualisme, kompetisi, dan konsumsi. Kesuksesan diukur berdasarkan pencapaian material, status sosial, atau popularitas di media sosial. Akibatnya, banyak orang mengejar tujuan hidup yang bersifat eksternal, sementara dunia batin dan makna hidup sering terabaikan. Kesenjangan antara “penampilan” dan “realitas batin” ini menimbulkan konflik internal yang serius: manusia memiliki segala fasilitas, namun tetap merasa kekosongan dalam dirinya.

Fenomena ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa yang bekerja, tetapi juga oleh generasi muda yang tumbuh dalam era digital. Anak-anak dan remaja yang lahir di tengah kemajuan teknologi sering menghadapi tekanan sosial yang intens, di mana validasi online lebih penting daripada pemahaman spiritual atau moral yang mendalam.
Secara psikologis, kondisi ini dapat dijelaskan melalui hilangnya “pusat orientasi” dalam kehidupan. Manusia modern cenderung mencari makna di luar dirinya, melalui hiburan, konsumsi, atau pencapaian material, sementara hubungan dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan dengan Tuhan menjadi tersisihkan. Ketika manusia kehilangan pusat orientasi spiritualnya, hati menjadi gelisah, pikiran mudah terpecah, dan tindakan hidup sering kehilangan arah. Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa kemajuan materi tidak selalu diiringi dengan kemajuan spiritual.

Dalam konteks ini, Islam menawarkan perspektif yang berbeda. Melalui konsep Tauhid, Islam menempatkan Allah sebagai pusat realitas, sehingga setiap aspek kehidupan — dari pekerjaan, interaksi sosial, hingga pemanfaatan ilmu dan teknologi — memiliki orientasi spiritual. Tauhid bukan sekadar doktrin teologis, tetapi pandangan hidup yang komprehensif, yang menata manusia agar tetap terhubung dengan tujuan hakiki hidupnya. Dengan memahami Tauhid, manusia dapat menemukan keseimbangan antara kesibukan duniawi dan ketenangan batin, antara tuntutan materi dan pencapaian spiritual.
Pendahuluan ini menegaskan bahwa krisis spiritualitas modern bukan sekadar masalah individual atau psikologis, tetapi fenomena sosial dan eksistensial yang membutuhkan refleksi mendalam. Dunia yang bising dan terus bergerak menuntut manusia untuk kembali menemukan pusat orientasinya — dan Islam, melalui Tauhid, memberikan jalan untuk menemukan kembali keseimbangan, makna, dan ketenangan dalam kehidupan.

Krisis Spiritualitas Modern: Analisis Pandangan Dunia Sekuler

Pandangan dunia modern sering menekankan nilai-nilai sekuler, materialistik, dan rasional. Realitas dianggap eksklusif material, sehingga manusia mengejar kesuksesan ekonomi, popularitas, dan prestasi tanpa menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan. Konsep etika dan moralitas sering dijadikan hasil kesepakatan sosial, bukan berasal dari prinsip spiritual yang absolut.

Menurut Ismail Raji al-Faruqi, modernitas Barat sering mengesampingkan “dimensi sakral” kehidupan, sehingga manusia menjadi alien terhadap alam, masyarakat, dan dirinya sendiri. Misalnya, fenomena stres, depresi, dan alienasi sosial meningkat meskipun kemajuan teknologi dan fasilitas hidup semakin canggih. Orang merasa terkoneksi dengan dunia, tapi justru kehilangan kedamaian batin.

Banyak pekerja muda yang sukses secara materi tetapi merasa hidup mereka tidak bermakna. Anak muda menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial, mengejar “like” dan validasi online, tapi merasa hampa secara spiritual. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebisingan dunia modern sering menenggelamkan kesadaran akan keberadaan Tuhan dan tujuan hidup yang hakiki.

Pandangan Dunia Islam: Tauhid Sebagai Pusat Realitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun