Mohon tunggu...
Indra Gumilar
Indra Gumilar Mohon Tunggu... -

asli urang Bandung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Berakhlak" Islam Berbeda dengan "Berbudaya" Islam

24 Juli 2014   23:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:19 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dahulu kita mengenal Masyumi dan NU sebagai identitas yang mewakili Islam di Indonesia, baik secara politik, budaya, hingga pendidikan. Waktu itu soliditas bangsa Indonesia sangat kokoh... hingga seperti misalnya fenomena Isa Anshari (Masyumi) yang berdebat hebat dengan DN Aidit (PKI) hingga mukul-mukul meja beradu argumen di konstituante. Setelah debat berakhir keduanya malah duduk bareng di warteg sambil ngobrol biasa, malahan Aidit pinjam uang kepada Isa Anshari buat ongkos pulang.

Sosok tokoh Islam yang banyak menerapkan budaya dan akhlaq kepribadian bangsa Indonesia membuat Islam di Indonesia memiliki identitas dan jati diri bahwa Islam dengan Indonesia memang identik waktu itu. Karena adat dan karakter bangsa Indonesia memang sama dengan apa yang diajarkan dalam akhlaq Islam, seperti gotong royong, berbagi, saling menasehati, saling menolong, termasuk melihat sisi positif setiap ideology yang ada di Indonesia. Masyumi dan NU mampu menampilkan sosok Islam yang Indonesia yang menjadi factor utama yang mempersatukan bangsa. Mereka sangat pandai mewarnai karakter bangsa sehingga bukti struktur budaya di NU, Muhammadiyah (representasi terbesar Masyumi), masih kuat lebih dari seratus tahun hingga saat ini. Artinya usia mereka sudah lebih tua dari usia republik ini.

Nah jargon dan istilah umat Islam saat ini sudah sangat kabur dan banyak diklaim oleh kalangan Islam yang berada dibawah pengaruh salafi wahabi. Pengaruh ini masuk ke kalangan generasi muda tahun 90-an hingga sekarang melalui pergerakan di kampus-kampus yang rata-rata mahasiswa nya baru mengenal Islam ketika mereka kuliah atau setidaknya ketika mereka SMU. Nah kalangan ini pun banyak melakukan berbagai upaya untuk eperkenalkan pemikiran mereka lebih jauh lagi, dari mulai menterjemahkan tulisan-tulisan pemikir dari timur tengah yang seringkali elenceng dari maksud si penulis sebenarnya, kaderisasi secara eksklusif bahkan menggunakan teknik sel semacam liqo, celana cingkrang, hingga sesuatu  yang dianggap ritual sebagai parameter kesuksesan seseorang seolah kalau hafal al Qur’an itu dijamin masuk surga, misalnya, sehingga dianggap sebagai orang suci. Nah kalau sudah masuk ke ranah image seperti ini, maka akan sangat rawan untuk digiring ke ranah politik praktis. Sehingga munculnya fatwa haram memilih salah satu capres, halalnya kampanye hitam terhadap salah satu capres, dan sebagainya. Segalanya menjadi serba subyektif, serba standar ganda, dan tidak peduli lagi akan yang namanya obyektifitas seperti cross check berita, berpikir holistic, bahkan menemukan akar budaya dan karakter asli bangsa saja sudah kurang mampu lagi, sehingga kekerasan atas nama Islam dan atas nama umat sudah menjadi hal yang biasa di negeri ini.

Bahkan sangat tragis banyak hingga puluhan ribu orang muslim bisa digiring kesuatu tempat untuk melakukan ritual massif yang dipimpin oleh seorang bersorban dan bermuka arab, dimana mereka rela mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit. Proyek yang disetting sebuah pengajian, atau apalah namanya, hingga proyek politik yang melibatkan kader-kader yang sudah dicuci otaknya dan menghalalkan segala cara demi loyalitas kepada pemimpinnya, dimana itu semua disettting atas nama agama atau atas nama Tuhan, padahal secara logika dan perasaan Tuhan tidak mungkin memerintah seperti itu, dan bisa dipelajari di berbagai kitab suci secara holistic.

Orang yang sekedar hafal ayat dan hadits, lalu dia pahami secara sastra arab dan pengetahuan umum ala kadarnya sudah dianggap sebagai orang suci dan imam yang harus dipatuhi jiwa dan raga.

Hal lain yang tidak kalah tragis adalah klaim pihak siapa yang paling berhak berbicara atas nama Islam ataupun atas nama Allah.

Perlu untuk dicatat bahwa nilai-nilai Islam bukanlah satu-satunya yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, akan tetapi ada risalah para rasul sebelumnya yang kesemuanya digenapkan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya sebenarnya nilai-nilai yang sebagaimana halnya dibawa oleh Islam sebenarnya sudah ada sebelumnya dan tersebar diberbagai penjuru belahan dunia dan diterapkan oleh manusia berbagai suku dan ras, dan itulah yang dinamakan peradaban dan kemanusiaan.

Pesan-pesan (ayat) al Qur’an berlaku bagi seluruh manusia dan diinterpretasikan oleh nabi Muhammad sebagai salah satu dari sekian banyak nabi, dan beliau kebetulan orang arab dimana risalah itu beliau sampaikan kepada wilayah yang ada disekitarnya yang dihuni oleh orang arab, dimana waktu itu belum ada system komunikasi dan informasi seperti halnya sekarang ini. Dan perlu dicatat bahwa Nabi belum pernah melakukan da’wah penyampaian pesan-pesan Ilahi hingga ke luar arab dan menemui serta berkomunikasi berdialog dengan orang-orang di luar orang Arab. Memang Nabi pernah berkirim surat kepada pemimpin-pemimpin di luar jazirah Arab menjelang akhir hayatnya.

Nah sekarang ini tugas kita semua untuk mengembalikan dan menemukan esensi sebenarnya dari keseluruhan pesan-pesan Ilahiyah tadi. Tentu saja dimulai dengan berpikiran terbuka, berakhlaq secara manusiawi dengan menjunjung kemanusiaan. Dan yang tak kalah penting memisahkan mana yang Islam berlaku rahmatan lil ‘alamiin dan mana yang sebenarnya adalah budaya dan karakter arab.

Para nabi dan rasul diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia, bukan sebaliknya kan…??!!

# wilujeng wayah kieu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun