Sebuah Refleksi Kepiluan tentang Honorer Non-ASNÂ
Di dunia pewayangan, setiap tokoh memiliki tempatnya. Ada yang menjadi raja, ksatria, punokawan, bahkan raksasa. Tapi semua tokoh, tanpa terkecuali, hanya bisa hidup dan dikenali jika tampil di atas kelir --- layar putih yang jadi panggung pertunjukan. Di balik kelir, seorang dalang mengatur peran, memberi suara, menentukan siapa yang layak muncul, siapa yang sekadar lewat.
Namun di dunia nyata, tak semua yang bekerja untuk negara mendapat kesempatan untuk tampil. Tak semua yang berkeringat untuk republik ini diperhitungkan. Di balik megahnya sistem birokrasi, ada jutaan orang yang bekerja siang dan malam untuk negara --- tanpa status, tanpa pengakuan, tanpa jaminan masa depan.
Mereka adalah guru honorer, yang mengajar 10, 15 bahkan 25 tahun di ruang kelas, tapi tetap ditulis sebagai "tenaga bantu" dalam SK sekolah.
Mereka adalah perawat desa, yang menjadi garda depan vaksinasi dan persalinan, namun tidak punya SK PPPK.
Mereka adalah tenaga teknis, penjaga sekolah, arsiparis, pustakawan, petugas kebersihan kantor pemerintahan --- yang semua aktivitas ASN bergantung padanya, tapi nama mereka tidak tercantum dalam sistem kepegawaian pusat.
Mereka adalah Wayang Tanpa Kelir.
Panggung Sunyi Para PengabdiÂ
Kelir adalah metafora panggung negara. Jika ASN penuh waktu adalah para tokoh utama yang tampil dalam terang, maka non-ASN adalah para dalang bisu, memainkan peran tanpa diakui. Mereka ada, nyata, bahkan vital --- tapi disamarkan oleh sistem yang menutup mata.
Negara menjadi dalang yang pilih-pilih, hanya menampilkan tokoh yang dikehendaki undang-undang, seraya membiarkan yang lain berdiam di balik layar, tanpa nama, tanpa hak.
Setiap tahun anggaran bergulir. Setiap janji politik diumbar. Tapi mereka tetap di tempat yang sama.
Bekerja seperti ASN, tapi tidak disebut ASN.
Digaji seperti pekerja lepas, tapi dituntut loyalitas seperti aparatur negara.