Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Stratum

1 Agustus 2020   00:19 Diperbarui: 1 Agustus 2020   01:33 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dialektika manusia terus bergeliat, manusia kemudian bersambungan satu sama lain dalam jalinan hubungan sosial antar manusia. Hubungan-hubungan ini terjalin begitu manis dalam berbagai bentuk, ada soal hubungan timbal balik ekonomi, kekuasaan politik, identitas bersama seperti kebudayaan, agama atau padatan-padatan loyalitas berbasis pergerakan,  perhimpunan bahkan relasi mistis-magis berdalih glorifikasi masa lalu. 

Hubungan interkoneksi manusia  tak melulu soal hasil dan ego untuk mendapatkan sesuatu. Tetapi banyak hal yang kemudian menjadi lebih variatif karena relasi yang terbangun melambari kepada apa saja yang lebih sustainable, lebih berumur panjang, dan lebih membawa manusia kepada level lebih tinggi dari hidup.

Bahwa hubungan manusia yang berkembang kemudian tak lebih dari sekedar mencari kebutuhan primer, atau menjangkepi kehausan ego. Ketika perut sudah terisi kenyang, kebutuhan akhirnya bergeser pada titik lebih parsial, lebih atraktif dengan melibatkan berbagai sumber daya untuk memenuhi fase kehidupan manusia selanjutnya.

Dalam buku Homo Deus karya Harrari memang sudah disebutkan secara detail bahwa kebutuhan manusia berubah sejak angka kematian karena perang, wabah dan kelaparan turun drastis. Manusia di abad 21 kemudian mengejar hal-hal yang lebih berkelanjutan.

Dinamika perubahan ini akhirnya merubah banyak pola hidup remaja diperkotaan, juga mulai meluasnya pengaruh internet dan media sosia di pedesaan. Gawai dan Internet hampir menjadi kebutuhan primer manusia selama sepuluh tahun terakhir. Perubahan cara berfikir kemudian juga terjadi, informasi tersebar semakin cepat, data-data semakin mudah didapatkan, bahkan beberapa lembaga negara mulai open-source membuka datanya untuk dikonsumsi publik.

Geliat ini kemudian mempengaruhi kaum akademisi untuk lebih banyak lagi mendapatkan sumber-sumber yang selama ini tidak mereka dapatkan, geliat ini pula yang kemudian membuat remaja menjadi  menaikkan konsumsi data sebagai arus yang berbanding lurus terhadap tingkat kecanduan mereka akan gawai ini.

Dan kemudian kebahagiaan diraih atas berbagai macam hal selain pemenuhan kebutuhan primer. Namun apakah semuanya berubah? Tentu saja tidak demikian dengan beragam pola-pola interaksi yang terjadi.

Stratum,  atau  lapisan sosial istilah yang dimaknai sebagai sebuah pola bahwa meskipun jaman bergerak dalam beragam variasinya, sebenarnya dalam banyak hal pola-pola hubungan sosial tidak banyak berubah.

Beberapa dari kita terus hidup dalam pola yang sama dan diteruskan oleh generasi selanjutnya. Banyak dari seseorang yang hidup dalam sebuah lingkaran akhirnya tidak bisa keluar dari lingkaran ini dalam waktu dekat bahkan sampai kematiannya menjelang.

Berapa orang dari lapisan periferal perkotaan hidup sebagai kaum marginal dan kaum papa ditengah kota yang bisa naik ke lapisan atasnya, untuk hidup lebih mapan misalnya di rusunawa atau mampu mengontrak rumah sendiri. Atau dalam struktur masyarakat desa, tidak banyak pula yang meloncat ke lingkar lainnya.

Desa dengan segala penjagaan etiknya atas 'tata cara' tidak mampu mengubah banyak pemuda desa punya prespektif lebih luas dalam melihat kacamata hidup. Selain menjadi petani, sedikitnya pilihan-pilihan di desa membuat masyarakat hanya berhenti di lingkaran ekonomi mikro berjualan seadanya, atau terseret arus urbanisasi.

Sesampainya di kota beberapa orang terkena shock-culture dan membawa ini ketika pulang di desa-desa. Perubahan kemudian terjadi di desa, gaya hidup perkotaan yang cenderung instan dan praktis bertemu dengan budaya desa yang sangat menjaga entitas kedesaanya, desa yang cenderung tertutup bersentuhan dengan budaya metropolit membuat bentuknya sendiri dalam bingkai ala kadarnya.

Jika kemudian kacamata ditarik lagi lebih jauh soal hubungan manusia ini memang tidak memilih lahir dari keluarga dan garis hidup seperti apa. Tetapi personalitas dan masa kecil anak membentuk  watak, karakter serta pilihan-pilihan hidup tentang bayi yang baru lahir.

Belum lagi ketika sang anak tumbuh besar terjadi perbedaan sumberdaya secara signifikan. Siapa orang tua mereka setiap sumberdaya yang dimiliki, relasi yang dibangun kemudian membentuk sebuah standar baru dalam sebuah tatanan masyarakat.

Dalam beberapa amatan yang pernah saya lakukan, kawan-kawanku yang menjadi pengamen, tukang sapu, pengemis, dan apa saja yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Tidak banyak mereka yang bisa keluar dari jeratan itu, lingkaran itu, bukan karena mereka tak mau tapi keadaan mengharuskan seperti itu.

Keterbatasan akses, privilege, sumberdaya kapital, relasi dan informasi menutup segala kemungkinan mereka naik ke strata diatasnya. Belum lagi mental inferior manusianya, betapa manusia selalu punya watak yang terbentuk karena personalitas, karena bawaan lahirnya.

Kekacauan dan kerusakan dari sebuah keluarga sangat mempengaruhi tensi, kondisi psikologis anak. Belum lagi soal standar-standar atas beragam pencapaian yang diinginkan, akhirnya membuat anak menjadi orang lain, pandangan terhadap dirinya sendiri kabur, dan menimbulkan rentetan efek samping lainnya, puncaknya ya tadi ada miskonsepsi informasi tentang kedirian, watak terbentuk lalu membangun jaring relasi yang tidak diinginkan pula, hingga akhirnya tanpa sadar melanjutnkan pola-pola relasi yang sudah terbentuk sebelumnya.

Lalu stratum-stratum terjadi, dan tidak bisa dipungkiri geliat relasi pertemanan ini membentuk solidaritas atau kawanan dalam mengejar idealitas bersama. Baik secara kebudayaan, dogma agama, kepentingan yang sama, atau yang paling dekat karena ada relasi biologis.

Hubungan genetik merupakan stratum yang paling kuat. Banyak sekali pelanggengan terjadi di hubungan ini, kekuasaan, hegemoni politik, industri dan ekonomi, jaringan akademisi, literasi, musik dan seni semua kekuatan terjalin dalam beragam ruang strata yang mereka berjejaring satu dengan yang lain.

Dinamika ini memang wajar ketika dulu di jaman kerajaan, dominasi kekuasaan tersentral pada keluarga kerajaan, tetapi jika sekarang jaman melaju pada demokrasi, kepada kepemimpinan elektoral akhirnya jalinan kekuasaan ekonomi yang mengendalikan kekuasaan. Dan lagi-lagi relasi kekuatan ekonomi terkumpul/dikumpulkan oleh beberapa pihak yang berusaha menjaga dan melanggengkan stratum mereka.

Alternatif pemikirannya, stratum terjadi karena pola pembiasaan terhadap seorang anak dibentuk oleh keseharian orang tua, akses, privilege serta relasi kuasa yang terjadi di kalangan para orang tua. Banyak dari akademisi kita sekarang juga merupakan keturunan ampuh dari orang-orang yang mencecap kenikmatan intelektualitas di era awal kemerdekaan.

Jika ditarik mundur lagi semua tokoh pergerakan kita adalah orang-orang yang cukup punya akses ke banyak sektor, anak bangsawan, ningrat, dan tentu relatif kaya. Ideologi-ideologi nantinya yang mengubah paradigma manusia. Ketika pendidikan di bebaskan ke semua pihak, ternyata memang tidak semua anak cukup mampu untuk menjadi akademisi, apalagi memasuki jaringan-jaringan akademisi ampuh yang mampu mengurai banyak sisi ilmu pengetahuan, juga tentang penemuan -- penemuan.

Mereka semua melingkar dalam satu lingkaran kecil, bukan karena tidak mau menerima orang luar, tetapi memang seperti ada seleksi alam yang mengeliminasi setiap kadar pemikiran seseorang. Mereka yang tidak mampu akhirnya hanya menjadi pencundang, pengekor dan medioker dari para wong ampuh ini.

Generasi pengekor ini yang berbahaya, tidak tahu dirinya akan kapasitas dan potensialitas, dijaman sekarang ketika panggung kekuasaan dan eksistensi material adalah puncak dari tujuan sebagian besar orang.

Banyak orang menjadi pemburu rente, pemburu keuntungan bermodalkan 'dekat' dengan manusia ampuh-ampuh tadi lalu di generasi selanjutnya mereka bertindak seolah sebagai orang ampuh tadi, padahal sama sekali kemampuan mereka bahkan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan patron. Bisa dibayangkan pengekor manusia tidak capable tapi di beri kuasa ini tentu sangat berbahaya.

Akhirnya stratum dari garis lahir manusia menentukan betapa personalitas kemudian mempengaruhi pencapaian sebuah identitas, dan jika gelombang pengaruhnya besar mampu mencirikan sebuah entitas.

Transformasi privilege secara genetik, perluasan dan pembebasan akses ilmu pengetahuan, serta kesempatan -- kesempatan yang diberikan, juga sikap setiap individu akan pengalaman-pengalaman akan menentukan terbentuknya stratum secara alamiah.

Ketika jaringan terbentuk pada relasi mana mereka berdiri, jika pada kawanan yang saling memberi tentu akan sangat baik untuk jaringan tersebut, tetapi jika satu saja mulai mendominasi, progresinya akan negatif.

Jika teori ini benar dan mampu menangkap pola lebih luas, nampaknya personalitas dan stratum manusia ada harus menjadi sarana berbagi antar kepemilikan manusia. 

Progresi kecukupan dan kekurangan materi dan immateri saling tukar untuk saling melengkapi, saling menggenapi. Mereka yang kaya materi bisa tukar dengan kualitas kemampuan intelektualitas seseorang, mereka yang hanya punya sifat rajin dan teliti bisa saling bagi dengan pemilik modal, mereka yang berkemampuan pendek, punya talenta hanya satu dua bisa berbagi dengan fungsi talenta lain supaya lengkap dan genap.

Masalah kita sekarang ini kan karena hegemoni kapital dan standar upah yang layak adalah uang yang kemudian menggiring banyak orang untuk memenuhi kepentingan tren zaman. Sehingga mereka yang hanya berada ditengah, tak terlihat tak ayal hanya berposisi sebagai buruh dari sebuah kekuasaan, sikap lainnya tentu adalah antitesa dari kekuasaan yang juga membuat kekuatan tandingan entah berupa apa.

Tapi relnya tetap sama kepada ekstraksi sumberdaya manusia, memangkas waktu dan ide dari para medioker untuk tetap bertahan pada stratum yang mereka capai, kemudian diciptakan kebutuhan -- kebutuhan, lalu relasi kuasa yang mengendalikan pemenuhan kebutuhan berdasarkan prinsip ekonomi dan melanggengkan putaran baru materialisme.

Kemudian manusia membelok dari "garis yang ditentukan" berlomba-lomba mengikuti tren yang diwacanakan oleh arus jaman. Sebagian bisa sukses karena memang secara potensial mereka punya kemampuan untuk menuju level itu, sebagian lain hancur lebur dilumat habis oleh kepentingan, kebutuhan, gengsi, impian-impian yang sebenarnya juga mereka tidak butuh-butuh amat tetapi karena dorongan dari luar, dorongan dari masyarakat yang sudah terstigma oleh sebuah paradigma jaman, atau justru karena beragam kebuntuan-kebuntuan manusia mencari saluran dengan saling tuduh satu sama lain yang berakibat melumatnya pula rasa saling percaya, kemudian berlomba-lomba lagi pada hal-hal yang sebenarnya tak melulu dilombakan.

Artinya di satu pihak stratum manusia diperlukan sebagai sebuah kerja besar dalam membangun sebuah tatanan besar sosial, mungkin dari lingkaran terkecil biasanya masih alamiah siapa memegang fungsi siapa, begitu lingkarannya sudah meluas diatas 100 orang saja misalnya sudah beragam kepentingan hadir didalamnya.

Fungsi-fungsi tak lagi optimal, jaman yang menjadikan komunitas sebagai sarana mencari panggung, kini dijadikan perlombaan bagi banyak orang untuk menduduki panggung-panggung tersebut.

Jika panggungnya memang sesuai dengan kapasitas dan hal-hal relevan yang sehari-hari dialami oleh sang subjek tak masalah tetapi panggung akhirnya justru dikuasai oleh sekelompok orang narsis yang ingin mencicipi kenikmatan dari pemujaan sebuah komunal.  Hal ini tentu sangat menjijikkan.

Tapi jika ditelisik ke belakang lagi, bukankah setiap kecenderungan manusia pasti akan punya sisi aktualisasinya yang lebih kongruen. Tidak melulu soal positif dan negatif seperti yang dicapkan sebagian orang berdasarkan standar etik, tetapi lebih kepada pengoptimalisasian kecenderungan.

Jika kecenderungan tersebut punya rumah yang tepat, bukankah akan maksimal, meskipun nanti disitu ada 'panggung' lagi, tetapi panggungnya sehat saling bertumpu pada lingkar yang sama, pada permasalahan yang sama dan saling mengasah satu sama lain untuk menemukan solusi yang bisa dikerjakan bersama.

Setiap stratum kemudian saling menguatkan, saling merangkul, saling mengisi, dan perlunya kesadaran untuk tahu diri dan tahu kapasitas, sehingga mau merelakan apa saja yang bukan dunianya, bukan kapasitasnya.

Selain itu juga memberi ruang bagi  benih-benih baru yang tumbuh, memberi banyak kesempatan bagi semua orang untuk mengoptimalkan apa-apa saja yang ditanam didalam dirinya, hingga terbingkai gambar besar sebuah idealitas yang diusung bersama.

Mungkin kita bisa mulai dari saling memberi ruang dan kesempatan, saling berbagi tanah supaya benih-benih tumbuh wajar terlepas apapun faktor personalitas dari sang biji karena memang demikian, sampai saat ini tidak ada yang bisa memilih dari progresi sebuah Kelahiran.

Stratum akan tetap ada, yang harus dilawan tentu adalah dominasi dan pemanfaatan sepihak atas stratum-stratum yang terjadi.

Semoga kedamaian dan kesejahteraan meliputi semua mahkluk.

Ruang Tapa, 31 Juli 2020

Indra Agusta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun