Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wabah: Musnah atau Kerjasama Global

23 Maret 2020   17:56 Diperbarui: 23 Maret 2020   19:50 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Patroli setiap malam terjadi dijalan-jalan, pembubaran warung kopi, nongkrong dijalanan kemudian muncul begitu saja seperti alamiahnya aparat negara. Yang sigap menerima perintah dari pusat sampai daerah, menghantam siapa saja. Dan memang tidak ada salahnya, toh memang aparat demikian hanya menjalankan perintah. Anak-anak juga sama dia hidup dengan mindset libur = main, dolan, nongkrong ini juga merupakan efek jangka panjang dari kebijakan fullday school yang capek dan melelahkan anak didik akhirnya mereka menikmati, kapan lagi bisa main sepuasnya kalau tidak ada wabah.

Yang justru dipertanyakan adalah kenapa keputusan-keputusan yang dijalankan begitu gegabah. Pemerintah mulai memaksa diam dirumah tapi abai terhadap kebutuhan minimal, media yang terus menerus mendengungkan virus sebagai ancaman yang sangat menakutkan, dari yang terbiasa kemudian menjadi akut, menyerang psikis siapapun yang mendengar, membaca informasi yang tersebar di beragam media sosial, koran maupun televisi.

Seperti gayung bersambut dalam waktu cepat pengajian-pengajian ditiadakan, sekolah diliburkan, ibadah hari minggu dan ibadah lingkungan dihilangkan, Nyepi umat hindhu dirayakan dirumah masing-masing. Menariknya pola isolasi yang harusnya mewartakan bahwa dirumah ini untuk menyehatkan massa, untuk kebahagiaan kalian supaya lolos dari wabah, malah menjadi teror psikologi massa, dikerumunan media sosial, grup whatsapp, facebook, twitter, line dan instagram semua ramai berkampanye soal virus. Dan kebanyakan berkampanye dengan cara negatif.

Dalam amatan saya Italia dan Iran yang selalu sering dijadikan contoh untuk menakut-nakuti massa, meneror psikologis mereka dengan jumlah kematian yang drastis, jenazah yang tidak mungkin ditemui keluarga, serta proses strerilisasi terhadap virus yang tentu sangat berbeda dengan penyakit kebanyakan. Teror ini menghantui masyarakat kota sampai ke pelosok desa, semua panik, semua cemas, semua kebingungan yang kemudian berefek dengan naiknya level kewaspadaan lingkaran/kawanan. Beberapa kampung, perumahan dan wilayah mulai menolak kedatangan tamu meskipun itu keluarga mereka sendiri yang dari rantau. Anak-anak kost memilih tidak pulang lantaran takut membawa ketakukan kerumah orang tua mereka.

Kebijakan benteng ini kemudian membabi buta, semua lini panik bahkan termasuk negara, otoritas negara yang didalamnya harusnya ada intelektual yang memikirkan ini secara lebih jernih, menyuarakan isu, memberi peringatan dengan lebih informatif namun tak menteror. Bukan justru dengan langkah-langkah radikal yang tentu akan kontra-produktif secara psikis. Kita hidup bertahun-tahun di rezim orde baru yang melabeli aparat adalah ketakutan. Dan kini anak-anak itu seperti diteror, didesa orang rasan-rasan pak polisi sekarang mulai turun ke jalan, apakah negara genting? Banyak pertanyaan lainnya yang menganjal dimasyarakat. Semua ketakutan,

Kenapa kebijakan Isolasi benteng ini yang menyelamatkan justru malah menimbulkan masalah baru.

EGO VS EGO

Kondisi berikutnya adalah pemadatan atas legalitas dalam penanganan wabah. Mereka yang kebingungan seperti mendapat senjata dengan sikap negara. Work From Home yang menjadi ajang untuk penyelamatan warga negara, di sini karena tidak ada penjaminan negara soal pemenuhan hajat hidup semasa karantina, akhirnya tak bisa dibendunglah mereka yang penghidupannya berasal dari jalanan tetap keluar rumah, bertaruh nyawa dengan virus.

Banyak pedagang sayur desa yang setiap pagi tetap kepasar kulakan, ojek online, pengemis, pemulung, petani, bakul daging ayam beserta buruh potongnya, pengamen, tukang kreditur sampai debt collector, kawan-kawanku sales apapun, dan siapapun yang bekerja diluar karena hanya cukup hasilnya untuk makan sehari, apalagi kebijakan kantor tempat mereka bekerja tak mengindahkan himbauan negara karena juga tak punya cukup kapital untuk menjamin karyawan mereka supaya stay at home, semua jadi masalah yang serius tumpang tindih karena urusan paling krusial. Perut.

Kemudian mereka yang lebih nyaman, melek intelektual dan bekerja dikantoran mereka yang WFH banyak berubah menjadi SJW-SJW untuk  membela kepercayaan mereka sebagai 'yang paling benar' karena mereka diam dirumah mengikuti anjuran "Kebijakan benteng". Naifnya mereka menuding ini tak pernah mau bertoleransi apalagi membantu secara aktual terhadap kondisi mereka yang bekerja diluar. Lalu lempar-lemparan konflik terjadi. Facebook  adalah ladang bebas untuk saling hujat. Perang ego demi ego menghambur begitu saja tanpa kawalan negara, tanpa proteksi dari siapapun. Ada kepuasan untuk "menuding" inikan juga produk dari teror psikis yang kemudian mengakibatkan kekhawatiran dan harus ada luapan emosi untuk meredakannnya.

Atau kaum agamawan dan spiritualis yang lebih memilih wirid, doa dan mantra untuk meredakan setiap ancaman terhadap teror ini malah mengabaikan saintis. Sehingga akhirnya sikap saintis juga akan sama acuhnya terhadap kaum agamawan yang juga over-semberono untuk berani mengumpulkan massa dan berwirid bersama, yang tentu akan mengulangi tragedi wabah Pes dijawa. Perang antara pembela sains dan spiritualis terjadi, meskipun sains sangat rasional dan mudah diterima akal, nyatanya memang tidak semua menyukai sains. Dan dengan angkuh menyombongkan diri untuk terus berdalih hidup-mati ditangan Tuhan. Ya iya, hidup mati ditangan Tuhan tetapi jika kamu tidur direl kereta api dan kereta lewat, kamu mati konyol. Sementara sains sudah bicara tak kuat kondisi manusia berhadapan dengan kereta yang berbalut besi + kecepatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun