Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia Tanpa Papua, Apa Kata Dunia?

3 Mei 2021   15:36 Diperbarui: 3 Mei 2021   15:41 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Jayapura, Papua. Via travel.tribunnews.com

Dalam adegan film Naga Bonar, sewaktu Naga Bonar diprotes Lukman karena asal menunjuk titik penentuan demarkasi dan malah iseng mencuri jam tangan Mayor Belanda pada suatu perundingan. Naga Bonar berkata, "Berunding, Berunding, tapi mereka masuk juga." 

Adegan film tersebut menggambarkan, bahwa perundingan di masa lalu kerap membuat kerugian dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dan serpihan masalah dari meja perundingan yang masih berbekas sampai saat ini, adalah isu kemerdekaan Papua.

Dalam dunia nyata, Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan Jepang di tahun 1945. Dan mempertahankan kemerdekaan dengan jalan diplomasi serta perang bersenjata melawan tentara Sekutu (Allies) dan Belanda sepanjang tahun 1945 - 1949. 

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada tahun 1949. Menyatakan bahwa, Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia sepenuhnya tanpa syarat. Kecuali Papua bagian barat, yang akan dibahas satu tahun kemudian. Dengan alasan adanya perbedaan etnis. 

Padahal, terdapat 1.340 suku bangsa atau etnis di Indonesia menurut sensus BPS tahun 2010. Kiwari, alasan semacam itu pastilah ditertawakan seluruh dunia. 

Dalam waktu yang ditentukan, Belanda urung menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia. Mereka saat itu, justru malah mempersiapkan kemerdekaan Papua bagian barat (West Papua). 

Belanda membentuk Dewan Nugini Belanda pada tahun 1961, dimana bendera bintang kejora dirancang oleh Nicolaas Jouwe. Sedangkan pada tahun 2010, Nicolaas Jouwe akhirnya kembali menjadi warga negara Indonesia. 

Namun tahukah kamu, bahwa bendera merah putih lebih dahulu berkibar di bumi cendrawasih sejak tahun 1945. 

Dimana pahlawan Frans Kaisiepo telah berjuang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, bersama tokoh-tokoh pergerakan dan partai politik di Papua. Sebutlah, Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) berdiri pada tahun 1946. Dan pada tahun 1961 berdiri Partai Irian Sebagian Indonesia (ISI). 

Menyusul kemudian, Operasi Trikora dan dilanjutkan perundingan antara Belanda dan Indonesia di New York pada tahun 1962. Hasilnya tetap saja, Papua bagian barat merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia. 

Hal itu mendapatkan protes dari sebagian kalangan rakyat Papua yang berpedoman pada keputusan Dewan Nugini Belanda di tahun 1961. Mereka melahirkan Gerakan Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1965.

Pergulatan diplomasi, militer dan pergerakan tokoh-tokoh Papua, baik pro maupun kontra terhadap Indonesia berlangsung sepanjang tahun 1965 - 1969. Hingga hasil Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 menambah kekecewaan mereka. 

Maka secara historis, de jure dan de facto, Papua bagian barat atau dahulu bernama Irian sudah final menjadi bagian Indonesia.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bersama beberapa kelompok lainnya yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia, saat ini mengambil narasi pelanggaran HAM di masa lalu dan aksi rasisme di masyarakat, sebagai argumentasi utama gerakannya. 

Dan tidak sedikit warga negara Indonesia yang bersimpati dan seolah-olah mendukung keinginan mereka. 

Kita semua tahu, separatis di masa awal kemerdekaan Indonesia sangat banyak jumlahnya. Bukan hanya Papua, beberapa wilayah terdekat dari Ibu Kota saja ingin merdeka. Ada yang berdasarkan ideologi, agama, rasial dan kepentingan negara asing. 

Sebutlah, Gerakan Aceh Merdeka, PKI, DI/TII, PRRI, Permesta, RMS, dan lain-lain.

Kasus pelanggaran HAM, ketimpangan ekonomi, sosial dan politik di seluruh Indonesia mencapai titik didih di masa kekuasaan Orde Baru. 

Padahal, Ir. Soekarno memandang masyarakat dan wilayah bagian barat Papua, sebagai bagian tubuh Indonesia itu sendiri. Jauh sebelum sumberdaya mineral di sana dieksplorasi dan diketahui. 

Di era Reformasi, otonomi khusus dan pemekaran wilayah kota, kabupaten dan provinsi menjawab itu semua. Memang belum sempurna, tetapi keberhasilan dari kebijakan pemerintah tetap harus menjadi tanggung jawab masyarakat setempat. 

Penuntasan kasus HAM di masa lalu, tak kunjung terungkap. Negara tak juga dapat menjamin, orang-orang yang terlibat dapat diseret ke penjara. Lantas, apakah alasan itu cukup untuk mendukung sebuah aksi separatis? 

Pembangunan di wilayah timur Indonesia meningkat sejak tahun 2014. Pendekatan pembangunan dan pendidikan menjadi senjata utama pemerintah selain pendekatan keamanan dan anti-separatisme di Papua. 

Namun bagaimana bisa berjalan lancar, jika pendekatan pembangunan dan pendidikan malah dihadapkan moncong senjata? 

Pada tahun 2018, sebanyak 31 pekerja Trans Papua tewas dalam serangan KKB. Menyusul aksi-aksi teror KKB yang "mengatasnamakan" seluruh rakyat Papua tersebut. Tak lama, pada 8 April 2021, KKB membakar 3 sekolah dan menewaskan 2 orang guru. 

Aneh rasanya, saat aktivis HAM berkata, peristiwa yang dilakukan KKB terhadap pekerja Trans Papua di Nduga dan guru di Boega adalah pelanggaran HAM serius, tetapi kini justru kecewa akan label teroris yang diputuskan pemerintah pada organisasi tersebut.

Kekhawatiran menutup ruang dialog dan stigma teroris pada rakyat sipil, cukup masuk akal. Namun, bukankah label teroris pada ISIS tidak membuat umat Islam sedunia mendapat label serupa. Dan bukankah, dialog hanya dapat dilakukan pada pihak yang menempuh jalan damai. 

"Tak ada istilah freedom fighter bagi mereka yang membunuh warga sipil, toh."

Nyatanya, OPM atau KKB dan organisasi sempalannya semacam UNLWP, bukanlah representasi keseluruhan rakyat Papua. 

Ketika seseorang di luar sana mengaku-ngaku presiden Papua barat, hanya karena mendapat dukungan Vanuatu. Respon masyarakat Papua justru menolaknya. Ironis, penolakan juga datang dari OPM.

Bahkan organisasi internasional di bawah level PBB, yakni Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) mendepak OPM dari keanggotaan sejak tahun 2008. Meskipun masih menjadi corong propaganda OPM di lini masa resmi mereka.

Lantas, bagaimana dengan kasus rasisme yang kerap dialami masyarakat Papua. Apakah cukup untuk mendukung sebuah aksi separatis? 

Pertama-tama mari sadari, bahwa dukungan untuk penuntasan kasus HAM, ketimpangan ekonomi, sosial, pendidikan dan pembelaan pada korban rasisme yang dialami oleh masyarakat Papua. Bukanlah sebuah bentuk dukungan terhadap keinginan OPM. 

Kompleksitas yang terjadi pada isu Papua, membuat pemerintah harus berhati-hati menarik garis kebijakan di wilayah paling timur Indonesia. 

Ditambah kepentingan politik dan ekonomi negara-negara lain, yang "sok" ikut campur urusan dalam negeri. 

Mungkin sebagian kita berpikir, jika rasisme kerap dialami sebagian besar suku bangsa di Indonesia. Namun bagi masyarakat Papua, hal itu sudah sangat menggangu. 

Rasisme, bukanlah masalah yang harus diselesaikan masyarakat Papua. Di sana toleransi berjalan lebih baik, daripada di daerah lain. 

Rasisme, justru masalah bagi masyarakat di luar Papua. Minimnya pendidikan karakter, membuat kelakar dan ucapan rasis dianggap biasa. 

Stigma dan pemikiran kolot bahwa Indonesia timur masih tertinggal, adalah musuh besar seluruh rakyat Indonesia. 

Kini saatnya, mendorong hukuman berat bagi pelaku rasisme dari suku apapun dan dari wilayah manapun. Praktik rasialis berupa body shaming, diskriminasi dan prasangka buruk, harus dilabel sebagai "kelakuan norak" dan layak mendapatkan hukuman setimpal. 

Dunia modern saat ini, tidak lagi berdiri di atas negara berdasarkan kesamaan rasial dan agama. Beragam suku bangsa, dapat hidup di negara manapun di dunia. 

Di Indonesia, kerukunan, keharmonisan dan toleransi masih menjadi pekerjaan rumah yang panjang. Tentu, kita semua ingin hidup dalam damai. Dan kedamaian tidak akan tercapai tanpa persatuan dan rasa persaudaraan.

"Indonesia tanpa Papua, apa kata dunia?" 

--

Indra Rahadian

Referensi:

  • Kompas.com
  • Radarmanokwari.com
  • Koranpapua.com
  • Wikipedia.org
  • un.org
  • unpo.org

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun