Wilayah Saint Quen, di Paris, Prancis mungkin bagi banyak pelancong dikenal sebagai salah satu pasar loak paling legendaris di Negeri Menara Eiffel. Wilayah ini juga dikenal sebagai salah satu tempat di Paris yang dihuni banyak kaum imigran.
Lazimnya wilayah yang ditinggali oleh kaum imigran, tak ada yang spesial jika melihat rumah-rumah di Saint Quen. Rumah-rumah di sana bahkan dianggap para pendatang seperti terbuat dari barang rongsok, termasuk sebuah bangunan besar yang memiliki lampu sorot menjulang tinggi dengan atap seng di sekelilingnya.
Sekilas bangunan besar itu mungkin mirip seperti flat yang dihuni kaum imigran, padahal bangunan tersebut memiliki sejarah sepakbola yang tersembunyi dan jarang muncul ke permukaan. Bangunan tersebut merupakan stadion sepakbola bernama Stade Bauer.
Apa istimewanya Stade Bauer? Stade Bauer merupakan markas dari klub tertua kedua di Prancis. Paris musim dingin Februari 1897, meski fajar tak menunjukkan kehadirannya, dua orang pemuda pecinta sepakbola tak gentar lalui cuaca dingin berkabut untuk bertemu di sebuah kafe di pinggiran kota.
Kala itu Jules Rimet masih berusia 24 tahun, ia bersama karibnya, Ernest Weber membicarakan keinginan dan harapan untuk mendirikan klub sepakbola. Bukan sembarang klub sepakbola seperti La Havre AC, klub sepakbola tertua di Prancis.
Rimet dan Weber ingin mendirikan klub yang bisa menampung banyak talenta berbakat di Paris yang berlatar belakang berbeda-beda, baik dari budaya dan status sosial. Keduanya paham bahwa Paris merupakan kota yang beisi orang-orang dari percampuran banyak budaya. Rimet dan Weber ingin klub tersebut bisa menjadi wadah untuk orang-orang itu. Â
Pondasi inilah yang kemudian menjadi keyakinan dan visi berdiri klub bernama Red Star Club Francais. Red Star menjadi klub tertua kedua di Paris, Prancis. Di awal berdirinya, Red Star menjadi klub yang disegani, bukan hanya soal prestasi mereka di lapangan hijau tapi lebih dari itu.
Berdiri di masa-masa pertarungan paham ideologi di seluruh Eropa, antara Komunisme versus Kapitalisme, tentu saja melihat logo dan namanya, kita bisa menyimpulkan Red Star merupakan klub sepakbola yang memiliki kedekatan dengan ajaran Karl Marx

Sepak terjang Red Star di lapangan hijau juga tak main-main. Red Star menjadi salah satu klub yang menggagas dihelatnya Ligue 1. Pun soal salah satu pendiri klub ini, Jules Rimet yang kita ketahui sumbangsihnya untuk sepakbola dunia.
Dari catatan sejarah klub ini sendiri baru diresmikan pada 12 Maret 1897 setelah Jules Rimet menyusun AD/ART klub dan mengirimkannya ke USFSA, lembaga yang di tahun itu mengurus olahraga di Prancis. Di awal berdirinya, Rimet dan Weber meminta para pemain di Red Star untuk teyan. Masing-masing pemain diminta 100 Franc sebagai modal awal klub.
Baru pada 1898, USFSA menerima Red Star sebagai anggota dimasukan ke kasta ketiga kompetisi buatan USFSA. Pada 1904, klub ini bermain di divisi utama liga USFSA. Setelah liga buatan USFSA tak lagi jelas masa depannya, Red Star kemudian bergabung ke Ligue de Football Association (LFA) yang baru berdiri -- cikal bakal berdirinya Ligue 1.
Setelah federasi sepakbola Prancis pada 1919 terbentuk, perhelatan Ligue 1 mulai mendapat perhatian lebih. Kondisi ini membuat Red Star dan sejumlah klub lain begitu bersemangat untuk mengarungi liga.
Sejumalh gelar berhasil di raih Red Star di awal-awal bergulirnya Ligue 1, termasuk menjadi kampium Piala Liga Prancis pada 1926 setelah di partai final mengalahkan rival sekota, Olympique de Paris. 4 tahun kemudian, saat otoritas sepakbola Prancis mengeluarkan aturan baru soal klub sepakbola haruslah profesional, Red Star jadi klub pertama yang mendukung serta menjalankan aturan tersebut, Red Star pun menjadi klub profesional pertama yang diakui di Prancis.
Setelah masa-masa jaya itu, Red Star kemudian merasakan kepedihan usai musim 1974-75. Klub yang mengoleksi 5 gelar Coupe de France ini jatuh ke kasta kedua, Ligue 2. Tak hanya bermain di kasta kedua, Red Star juga sempat terjerembab ke kasta ketiga Liga Prancis. Bahkan pada 2005 lalu, Red Star tercatat bermain di kasta keempat.
Alasan klasik membanyangi, apalagi kalau bukan masalah finansial. Saat milioner Qatar datang ke Prancis untuk 'membuang' uang mereka, tak ada satu pun yang melirik klub bersejarah ini.
Meski berada di kondisi yang tak mengenakkan, klub ini tetap berdiri dan tak mengubah identitas dan spiritnya. Visi di awalnya berdirinya Red Star tak jua berubah meski mereka tengah dikepung oleh industrialisasi sepakbola. Langit di Stade de Bauer begitu kelam di era ini, padahal tak jauh dari sana beberapa waktu lalu jutaan pasang mata dari seluruh dunia terpakau dengan langit di Parc des Princes karena menghadirkan sosok pesepakbola dengan harga sebesar 200 juta euro, Neymar Jr.
Kesetiaan para pendukung Red Star juga patut diancungi jempol. Sadar bahwa klubnya saat ini tengah menunggu arunika yang tak kunjung datang, para suporter Red Star yang tergabung di Gang Green, Perry Boys atau Splif Brothers tetap setia kala swastamita menyapa di langit kota Paris untuk menyaksikan Edson Seidou cs beraksi. Kesetiaan ini yang menambah energi Red Star untuk terus bertahan di arus deras industrialisasi sepakbola.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI