Wawancara (Alm)Heru Atmodjo, Mantan Perwira Intelejen Angkatan Udara, saksi peristwa 1 Oktober 1965 dengan reporter Bingkai Merah Galih Prasetyo dan fotografer Yogi Suryana, 29 September 2009. Peristiwa G 30 S merupakan lembaran kelam sejarah perjalanan bangsa ini. Peristiwa yang sebenarnya terjadi pada 1 Oktober dini hari itu masih menjadi kontroversi hingga saat ini.
Pembohongan publik yang dilakukan oleh negara memenuhi setiap sipnosis sejarah yang ada. Generasi muda diracuni oleh sejarah kepentingan rejim otoritarian Jenderal Suharto. Segala fakta diputarbalikan. Partai Komunis Indonesia dijadikan kambing hitam pelaku pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat. Cerita sejarah ini begitu berbeda dari temuan fakta-fakta sejarah beberapa akademisi. Stigmatisasi terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) membawa dampak besar setelahnya.
Jutaan orang anggota dan simpatisan PKI dibunuh. Jutaan lainnya ditahan tanpa pengadilan. Stigmatisasi itu masih ada sampai sekarang. Komunisme dianggap sebagai paham sesat dan jahat tanpa diberi kesempatan rakyat untuk memelajarinya. Pemusnahan komunisme berarti pelanggengan kapitalisme yang akan membawa krisis di segala bidang masyarakat. Keadaan itu terjadi sampai saat ini.
Berikut ini wawancara dengan Heru Atmodjo (salah satu perwira Angkatan Udara yang saat itu berpangkat Letnal Kolonel). Nama Heru Atmodjo tercatat di dalam daftar lima orang Dewan Revolusi di bawah pimpinan Letkol Untung dan wakilnya Brigjen Supardjo. Wawancara ini bertujuan untuk mengingatkan kembali ke masyarakat luas atas satu peristiwa yang mengubah perjalanan negara bangsa sampai saat ini. Selain itu, untuk menyebarluaskan versi sejarah yang sangat berbeda dari versi sejarah penguasa.
Di dalam versi ini terlihat jelas dalang peristiwa G 30 S dan genosida 1965. Semoga pengungkapan ini mengingatkan kepada masyarakat luas atas bahaya kapitalis yang melakukan segala cara untuk menguasai suatu negeri yang melimpah sumber dayanya, bernama Indonesia.
P: Apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 30 September 1965?
J: Sampai sekarang peristiwa ini hanya dilihat saat 30 September 1965 tapi tidak dilihat sebelum tanggal tersebut. Saya katakan musuh bangsa ini adalah CIA (central intelegent agent). Pada 30 September serta 1 Oktober adalah puncak krisis di negara ini. Sejak dulu musuh besar bangsa ini adalah imperialisme dan kolonialisme belanda (zaman kemerdekaan) dan CIA (saat ini dan pada masa mempertahankan kemerdekaan). Pada 23 maret 1965, CIA mengadakan rapat di markas CIA untuk membahas situasi politik dan sosial di kawasan asia terutama asia tenggara. Topik utamanya adalah ada dua front yang mau tidak mau harus dihadapi USA, yaitu Vietnam dan Indonesia. Di Vietnam jelas perjuangan dan perlawanan terus dilakukan sehingga Perancis tidak berhasil menginjakan kakinya di Vietnam setelah PD II. Seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa hasil perjanjian Versailles dan Piagam Perdamaian (Vatlantic Charter) adalah bentuk kelemahan dari life line imperialisme (rantai hidup imperialisme), sedangkan di Indonesia bung Karno sendiri pada Agustus 1964 menyatakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif tanpa intervensi dan mengecam keras tindakan imperialisme USA. Kita tidak bicara 1 Oktober 1965, tapi sebelumnya Maret 1965. Rapat puncak CIA yang dihadiri empat tokoh utama CIA di Manila, Filipina, Averell Harriman (veteran PD II sebagai anggota OSS-Office of Strategy Study, intel militer), William Bundy, Elsworth Bunker (juru runding dalam perdamaian RI-Belanda pada kasus Irian Barat), dan Howard P. Jones (duta besar Amerika di Indonesia selama tujuh tahun). Pertemuan itu menentukan sikap politik terhadap Indonesia. Mereka mendapat perintah langsung dari Presiden Amerika Serikat Johnson pada waktu itu sebagai Ketua National Security Council (NSC). Pertama mereka membicarakan apakah politik luar negeri Amerika masih bisa diteruskan seperti adanya sekarang dimana kita (baca: Amerika Serikat) menghadapi Vietnam yang eskalasinya semakin gawat? dan Indonesia, Bung Karno Agustus 1964 menyatakan politik luar negeri Indonesia sangat mengecam keras Imperialisme Amerika. Jawabanya tidak mungkin diteruskan seperti sampai saat ini karena bagaimana tanggung jawab kita dihadapan kongres, rakyat kalau kita tidak merubah arah politk luar negeri Amerika Serikat. Dengan demikian dorong Soekarno untuk mengubah arah politik luar negerinya. Dijawab oleh Dubes Amerika serikat saat itu, bahwa saya ditugaskan untuk itu. Misi saya mendekati Soekarno agar mau mengubah arah politik luar negerinya. Tidak ada satu orang di dunia pun yang mampu mengubah sikap keras Soekarno yang anti Imperialisme Amerika Serikat. Jika demikian keadaanya habisi saja Soekarno. Dijawab oleh Dubes Amerika saat itu, usaha pembunuhan terhadap Soekarno sudah dilakukan dan semuanya gagal. Begitu pun Angkatan Darat pernah melakukan usaha kudeta, 17 oktober 1952 namun usaha tersebut gagal. Karena di tubuh AD tahun 1965, ada 3 faksi didalamnya, pertama faksi loyalis Soekarno, faksi loyalis Nasution, dan faksi lainnya. Solusi terakhir adalah memanfaatkan situasi terakhir di Indonesia tahun 1965 diwarnai oleh tajamnya sikap politik AD dan PKI, intinya adalah itu.
P: Apakah benar PKI terlibat dalam peristiwa G 30 S (terlibat secara organisasi dan individu) ?
J: Rapat rapat puncak CIA di manila, Filipina diputuskan agar PKI dibuat ke lubang kejatuhannya sendiri. PKI yang berambisi terhadap kekuasaan serta konflik menajam dengan AD digunakan CIA untuk merancang konflik dengan Soekarno (peristiwa 1965). Kemudian Amerika Serikat memulai rancangannya dengan menyebarkan berbagai macam isu seperti isu Dewan Jendral. Menurut saya itu bentuk rekayasa karena setiap informasi intelejen harus dilihat siapa sumber dari informasi tersebut. Isu Dewan Jendral ini tidak berasal dari para jendral yang dituduhkan tersebut. Pak Yani (Jenderal Ahmad Yani) mengatakan tidak ada Dewan Jenderal yang berkonotasi politis. Memang ada yang disebut Dewan Pertimbangan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas membuat evaluasi di dalam menentukan siapa-siapa yang berhak mendapatkan pangkat jenderal. Alangkah bodohnya Pak Yani jika beliau yang membuat Dewan Jenderal tersebut karena beliau dulu pada masa perlawanan terhadap PRRI/PERMESTA adalah komandan yang tidak menyetujui pembentukan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Menguni, dll. Lalu ada isu mengenai sakit kerasnya Bung Karno. Isu ini juga sampai ke dalam tubuh AD. Para jenderal yang kemudian menjadi korban peristiwa 65 menanggapi isu tersebut kemudian mengadakan rapat untuk membicarakannya. Menurut mereka kondisi kesehatan bung karno lambat laun akan menurun. Permasalahan yang akan timbul kemudian adalah bagaimana proses pergantian kekuasaan ini akan berlangsung jika bung karno telah wafat, jika damai hal ini tidak masalah namun jika terjadi chaos tentu akan merugikan bangsa ini. Kemudian mereka membentuk satu panitia yang bertugas mencegah chaos tersebut. Panitia ini dipimpin oleh Mayjen Suwato (Seskowad). Inilah yang kemudian menurut saya sebagai Dewan Jenderal menurut beberapa kalangan. Perwira muda di tubuh AD pun mengadakan rapat. Mereka adalah Kolonel Latief, Letkol Untung, Kapten Wahyudi serta dua orang yang mengaku utusan Ketua CC PKI DN Aidit, yaitu Syam dan Pono. Di rapat tersebut membicarakan mengenai isu Dewan Jenderal dan isu sakitnya bung Karno. Kemudian isu yang santer didengar adalah tanggal 5 Oktober 1965 Dewan Jendral tersebut akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Kemudian perwira muda progresif ini melakukan inisiatif untuk menghadapkan jenderal-jenderal ke Bung karno sebelum tanggal 5 hidup atau mati.
P: Apa benar keterlibatan Angkatan Udara secara Institusi dalam peristiwa 1965?
J: Setelah isu-isu yang berkembang di masyarakat mengenai Dewan Jenderal beserta sakit parahnya bung Karno, tanggal 9 April 1965 tempat logistik angkatan bersenjata di jalan Iswahyudi disabotase dengan diledakan. Setelah kejadian itu KASAU Omar Dhani berpidato di hadapan perwira-perwira AU menyikapi hal tersebut. Omar Dhani berpendapat Angkatan Udara kekurangan personil untuk mengantisipasi kejadian itu terulang kembali. Perekrutan anggota baru membutuhkan waktu dan biaya yang lama dan tidak sedikit. Maka diputuskan untuk merekrut anggota baru melalui sukarelawan-sukarelawan Dwikora dan Trikora dulu. Mereka kemudian ditempatkan di Kebon Karet, Pondok Gede dan dilatih oleh Mayor udara Suyono (Kepala Staff teritorial udara di seluruh wilayah Indonesia). Nama tempat Kebon Karet diputarbalikan faktanya sebagai Lubang Buaya. Lubang Buaya sendiri letaknya cukup jauh dari Kebon Karet. Di sana merupakan tempat mess perwira-perwira muda AU seperti saya yang belum menikah. Memang diakui bahwa mereka yang tergabung di dalam pelatihan ini sebagian besar terdiri dari mereka yang beraliran Komunis seperti Pemuda Rakjat, Sobsi, Gerwani, dll. Namun bukan berarti golongan nasionalis dan agama tidak ada. Mereka diwakili oleh Perti, Pemuda Marhean, GMNI namun memang jumlah mereka tidak terlalu banyak. Berjalannya kepelatihan tersebut ternyata diwarnai dengan berbagai macam isu-isu tidak sedap yang memojokan AU secara institusi. Diputuskan pada 26 juli 1965 kepelatihan tersebut dibubarkan. Walaupun telah dibubarkan, sukarelawan-sukarelawan ini masih berlatih dan menetap di sekitar Pondok Karet karena memang sebagian besar sukarelawan ini berdomisili di sekitar Pondok Karet. Mereka kemudian dimanfaatkan oleh para perwira-perwira muda progresif untuk membantunya menculik para jenderal-jenderal.