Mohon tunggu...
Didi Irawan
Didi Irawan Mohon Tunggu... Freelancer

Warna warni paradigma dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Era Transparansi dalam Legalitas Pertanahan

9 Mei 2025   06:17 Diperbarui: 9 Mei 2025   07:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Indonesiabaik.id

Indonesia tengah bertransisi menuju era digitalisasi dalam banyak sektor, termasuk pertanahan. Teknologi digunakan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan efisien. Aplikasi seperti Sentuh Tanahku dan BHUMI oleh Kementerian ATR/BPN dirancang untuk memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat, memungkinkan pengecekan status sertifikat dan proses administrasi tanah secara daring. Namun, meskipun teknologi menawarkan kemajuan, satu pertanyaan penting tetap muncul: apakah transparansi digital cukup untuk menutup celah yang selama ini dimanfaatkan oknum-oknum dalam sistem pertanahan?

Menurut teori strukturasi dari Anthony Giddens, perubahan struktur seperti digitalisasi tidak selalu cukup untuk mengubah tindakan individu yang beroperasi dalam struktur tersebut. Struktur memang memberikan batasan, namun agen dalam hal ini petugas tanah dan calo masih bisa mereproduksi praktik lama, seperti pungutan liar atau manipulasi data, yang sudah mengakar dalam sistem birokrasi (Giddens, 1984). Oleh karena itu, meskipun kita beralih ke sistem digital, oknum-oknum yang masih memanfaatkan celah hukum berpotensi tetap bertahan, menciptakan hambatan baru dalam menciptakan sistem pertanahan yang benar-benar adil.

Contoh nyata dari masalah ini saya alami sendiri saat mengurus penjualan tanah keluarga di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Sertifikat tanah yang tercatat sejak 1997 masih mencantumkan nama wilayah Kabupaten Kapuas sebelum adanya pemekaran wilayah. Akibatnya, tanah tersebut harus menjalani proses plotting ulang untuk menyesuaikan dengan administrasi wilayah yang baru. Proses ini tidak berjalan mulus. Seorang perantara menawarkan bantuan untuk mempercepat proses tersebut dengan biaya yang sangat tinggi sebesar Rp50.000 per meter persegi tanpa penjelasan yang jelas mengenai dasar hukumnya. Hal ini menunjukkan bagaimana aktor di lapangan masih memainkan struktur birokrasi untuk kepentingan pribadi, meskipun sistem digital sudah diterapkan.

Dalam konteks ini, artikel "Legal Transformation: Realizing Nomocracy and Transparency in the Field of Land Distribution in Indonesia" memberikan wawasan lebih jauh tentang pentingnya nomokrasi dan transparansi dalam transformasi hukum pertanahan di Indonesia. Nomokrasi menekankan pada pemerintahan yang sepenuhnya dipandu oleh hukum, sementara transparansi memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Tanpa dua prinsip ini, reformasi pertanahan hanya akan menjadi perubahan kosmetik yang tidak menyentuh inti masalah (Legal Transformation, 2024).

Dari sudut pandang yang lebih luas, reformasi hukum pertanahan yang benar-benar efektif memerlukan perubahan besar dalam sistem birokrasi dan kultur kerja di lapangan. Salah satu aspek yang perlu diterapkan adalah nomokrasi, yang menempatkan hukum sebagai pemandu utama dalam pengambilan keputusan di bidang pertanahan. Hal ini sejalan dengan transparansi yang akan memastikan bahwa proses pengelolaan tanah dapat dipertanggungjawabkan, serta memungkinkan masyarakat untuk dengan mudah mengakses informasi yang berkaitan dengan hak atas tanah mereka (Legal Transformation, 2024).

Ke depan, reformasi hukum pertanahan harus melibatkan perubahan struktural yang lebih mendalam, bukan hanya dari sisi digitalisasi, tetapi juga dalam hal pembenahan prosedur administratif dan pengawasan yang lebih ketat. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat mengatasi masalah ketimpangan akses terhadap tanah, serta mengurangi konflik dan sengketa pertanahan yang selama ini menghambat kemajuan sektor ini.

Melalui perubahan yang menyeluruh dalam struktur hukum dan agen yang terlibat, Indonesia dapat memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam pengelolaan hak atas tanah. Transparansi, di satu sisi, akan memungkinkan masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sementara nomokrasi akan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tetap berpijak pada prinsip-prinsip hukum yang adil dan merata.

Referensi:

  • Giddens, A. (1984). The Constitution of Society. University of California Press.

  • "Legal Transformation: Realizing Nomocracy and Transparency in the Field of Land Distribution in Indonesia". (2024). Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 5, No. 5.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun