Persaingan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit di Indonesia merupakan salah satu tantangan terbesar dan paling kompleks yang dihadapi oleh para lulusan SMA, SMK, maupun MA yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Perguruan tinggi negeri seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) telah lama menjadi simbol keberhasilan akademik dan sosial, serta tujuan utama bagi para calon mahasiswa karena reputasi akademiknya yang sangat baik, fasilitas penunjang yang lengkap dan canggih, serta peluang karier dan jejaring alumni yang luas dan menjanjikan setelah lulus. Namun, popularitas yang tinggi dari universitas-universitas tersebut menyebabkan kompetisi untuk mendapatkan kursi menjadi sangat ketat, dengan jumlah pendaftar yang jauh melebihi kapasitas yang tersedia setiap tahunnya. Menurut Darmaningtyas, seorang pakar pendidikan yang telah lama mengamati perkembangan sistem pendidikan di Indonesia, “Persaingan masuk PTN favorit mencerminkan masih terbatasnya akses terhadap pendidikan tinggi bermutu di Indonesia. Hal ini menyebabkan konsentrasi peminat hanya pada universitas tertentu.” Pernyataan ini menyoroti fakta bahwa belum meratanya distribusi kualitas pendidikan tinggi di berbagai daerah menyebabkan para calon mahasiswa berlomba-lomba untuk masuk ke universitas yang dianggap unggul, karena universitas lain belum memiliki daya tarik yang setara. Sementara itu, Prof. Fasli Jalal (2015), mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa “Persaingan super ketat di PTN favorit menunjukkan bahwa sistem seleksi nasional belum sepenuhnya memberi peluang adil bagi semua peserta didik, terutama mereka yang berasal dari daerah atau latar belakang ekonomi terbatas.” Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan seleksi nasional belum mampu menjamin kesetaraan kesempatan bagi seluruh pelajar, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki akses ke fasilitas dan dukungan yang memadai.
Berdasarkan pandangan dan analisis para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa persaingan super ketat untuk masuk ke PTN favorit tidak semata-mata disebabkan oleh jumlah pendaftar yang tinggi, tetapi juga dipengaruhi oleh ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas serta tidak meratanya persebaran fasilitas pendidikan tinggi yang unggul di Indonesia. Terbatasnya daya tampung kampus-kampus unggulan, serta kuatnya persepsi masyarakat yang hanya memusatkan pilihan pada beberapa universitas tertentu, menyebabkan terjadinya penumpukan peminat di institusi tertentu. Di samping itu, sistem seleksi nasional yang belum sepenuhnya merata dan adil memperbesar jurang kesenjangan antara calon mahasiswa dari kelompok sosial-ekonomi menengah ke atas dengan mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera atau dari daerah dengan keterbatasan fasilitas pendidikan.
Fenomena ketatnya persaingan ini tidak hanya memberikan tantangan dari segi akademik, tetapi juga membawa dampak psikologis dan sosial yang cukup signifikan bagi para calon mahasiswa. Tekanan untuk bisa diterima di PTN favorit membuat banyak siswa merasa bahwa masa depan mereka ditentukan oleh hasil seleksi ini saja, sehingga mereka mempersiapkan diri dengan sangat intensif melalui berbagai cara seperti mengikuti bimbingan belajar tambahan yang mahal, kursus persiapan UTBK, latihan soal intensif, hingga mengalokasikan waktu belajar lebih lama yang dapat mengorbankan waktu istirahat dan kegiatan sosial. Sayangnya, akses terhadap sumber belajar tambahan ini tidak merata, karena siswa dari keluarga dengan kemampuan ekonomi yang lebih baik cenderung memiliki lebih banyak peluang dan fasilitas pendukung, sedangkan siswa dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi harus berjuang dengan sumber belajar yang terbatas dan tidak jarang belajar secara otodidak tanpa bimbingan yang memadai.
Strategi Calon Mahasiswa dan Diversifikasi Pilihan Persaingan ketat di PTN favorit juga mendorong para calon mahasiswa untuk menyusun strategi yang lebih bijak dan realistis dalam memilih program studi dan jalur masuk yang tersedia. Banyak siswa kini mulai mempertimbangkan untuk tidak hanya mengandalkan seleksi nasional seperti SNBP atau SNBT, tetapi juga memanfaatkan jalur mandiri, mengikuti program beasiswa dari pemerintah atau lembaga swasta, serta mempertimbangkan pilihan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta (PTS) yang memiliki akreditasi dan kualitas akademik yang baik. Pendekatan ini dapat membantu mengurangi tekanan psikologis yang berlebihan dan memberikan peluang alternatif bagi siswa untuk tetap mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas sesuai dengan minat, kemampuan, dan latar belakang mereka.
Menurut data resmi yang dirilis oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) tahun 2024, jumlah pendaftar di PTN favorit jauh melebihi daya tampung yang tersedia. Misalnya, Universitas Gadjah Mada menerima sekitar 2.803 mahasiswa baru dari total pendaftar sebanyak 91.926 orang, dengan tingkat penerimaan hanya sekitar 3,05%. Universitas Indonesia menerima sekitar 3.200 mahasiswa dari 90.000 pendaftar (3,5%), dan Institut Teknologi Bandung menerima 2.200 dari 65.000 pendaftar (3,38%). Fakta ini menggambarkan betapa kecilnya kemungkinan seorang pendaftar dapat diterima, yakni hanya sekitar 3 dari 100 pendaftar, yang menunjukkan betapa kompetitifnya proses seleksi di perguruan tinggi tersebut. beberapa PTN lain di daerah yang belum memiliki daya tarik setinggi PTN favorit cenderung memiliki tingkat persaingan yang lebih longgar, dengan persentase penerimaan yang bisa mencapai 10% hingga 20%. Hal ini memberikan peluang lebih besar bagi calon mahasiswa untuk tetap mendapatkan akses terhadap pendidikan tinggi berkualitas di luar kampus unggulan, asalkan mereka bersedia mengeksplorasi pilihan-pilihan yang lebih luas dan tidak terpaku hanya pada nama besar universitas.
Pemerintah dan pihak perguruan tinggi telah dan terus berupaya untuk menyesuaikan kapasitas dan kualitas penerimaan mahasiswa baru dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat. Pengembangan program afirmasi yang ditujukan khusus bagi siswa dari daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan (3T), serta mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu, menjadi salah satu strategi penting dalam rangka mengurangi ketimpangan dan memperluas akses pendidikan tinggi. Di samping itu, peningkatan kapasitas kampus, baik dari segi infrastruktur maupun kualitas sumber daya manusia, juga terus dilakukan agar dapat menampung lebih banyak mahasiswa tanpa mengorbankan kualitas pendidikan.
Persaingan ini semakin mencuat seiring dengan meningkatnya jumlah lulusan SMA, MA, dan SMK yang mencapai lebih dari dua juta siswa setiap tahunnya. Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki fasilitas, kurikulum, dan tenaga pendidik yang memadai untuk mempersiapkan siswanya bersaing dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Sekolah-sekolah unggulan di kota-kota besar biasanya memiliki program khusus dan intensif untuk persiapan UTBK dan seleksi masuk PTN lainnya, sementara banyak sekolah di daerah tertinggal belum mampu menyediakan fasilitas pembinaan yang optimal, sehingga siswa dari sekolah-sekolah tersebut harus menghadapi tantangan ganda.
Ketimpangan sosial ekonomi turut memperparah ketatnya persaingan masuk ke PTN favorit. Siswa dari keluarga kaya umumnya memiliki lebih banyak sumber daya untuk mempersiapkan diri, mulai dari akses terhadap lembaga bimbingan belajar terkemuka, fasilitas teknologi, hingga dukungan emosional dan finansial dari keluarga. Sementara itu, siswa dari keluarga kurang mampu harus berjuang keras dengan keterbatasan fasilitas, informasi, dan pendampingan yang tersedia. Situasi ini menciptakan ketidakadilan struktural dalam sistem pendidikan tinggi, di mana keberhasilan seseorang untuk masuk ke PTN favorit tidak lagi semata-mata ditentukan oleh kemampuan akademik, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan ekonomi.
Dampak persaingan yang sangat ketat ini tidak hanya dirasakan oleh siswa yang gagal masuk ke PTN favorit, tetapi juga oleh mereka yang berhasil lolos. Siswa yang diterima sering kali datang ke kampus dalam kondisi kelelahan mental akibat tekanan dan proses seleksi yang melelahkan, sehingga membutuhkan waktu adaptasi yang lebih lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan akademik yang baru. Sementara itu, mereka yang tidak lolos sering kali merasa kehilangan kepercayaan diri dan semangat belajar, bahkan ada yang mengalami gangguan psikologis seperti stres berat atau depresi. Fenomena ini menunjukkan bahwa persaingan masuk PTN favorit tidak hanya menantang secara akademik, tetapi juga menuntut adanya dukungan mental dan sosial yang kuat dari berbagai pihak.
Ketatnya persaingan masuk PTN favorit menuntut perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah, institusi pendidikan, orang tua, maupun masyarakat luas. Dukungan psikologis, pemerataan akses terhadap pendidikan berkualitas, serta perluasan jalur dan mekanisme seleksi masuk perguruan tinggi menjadi kunci utama untuk menciptakan sistem pendidikan tinggi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Calon mahasiswa perlu dipersiapkan secara matang, tidak hanya dari segi akademik, tetapi juga dari aspek mental, sosial, dan emosional, agar mereka mampu menghadapi tantangan pendidikan tinggi dengan percaya diri. Sistem pendidikan nasional juga harus bertransformasi untuk memastikan bahwa setiap siswa, apapun latar belakangnya, memiliki peluang yang setara dan adil untuk meraih pendidikan tinggi yang bermutu dan berdaya saing global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI