Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Orang Kaya di Mata Anak Kecil dari Keluarga Middle Class

6 Maret 2024   21:24 Diperbarui: 9 Maret 2024   03:30 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Kaya (Sumber: Pexels/Andrea Piacquadio)

Kaya. Kaya raya. Dalam otak saya saat kecil dulu, orang kaya identik dengan pakdhe saya yang tinggal di Surabaya. Setiap berkunjung, saya selalu takjub karena rumahnya bersih, tertata rapi, kayak di film-film. Ini dalam otak saya sebagai anak kecil, lho. 

Kalau sekarang harus kembali ke masa lalu, sebenarnya ya rumah pakdhe biasa-biasa saja. Memang besar dan barang-barangnya lebih mewah dari rumah orang tua saya.

Namun bukan kaya yang tajir melintir. Setelah beranjak agak besar saya baru tahu kalau pakdhe kerja di beacukai dan setahu saya kerja di sana memang gajinya lumayan dan kemungkinan ada tunjangan lainnya yang saya tidak tahu.

Kalau ditarik ke masa yang lebih lama lagi, ada juga pakdhe yang saudara sepupu papa saya seorang dokter yang tinggal di Magelang. Nah, beliau juga salah satu figur orang kaya yang saya tahu. 

Rumahnya selalu bersih dan rapi, sampai kalau di rumahnya dan juga rumah pakdhe yang Surabaya, saya seolah takut bergerak. Seolah-olah jika bergerak akan ada daki yang rontok dan mengotori lantai. Wkwkwk, mental miskin atau mental middle class ya? Selalu takut salah, seperti nggak pedean gitu, lho. 


Karena waktu di Semarang saya tinggal di kompleks tentara tepatnya di blok G, saya kemudian menyadari bahwa tentara lainnya yang tinggal di blok F, E, D, C, B dan A, menempati rumah yang lebih luas dan rata-rata mereka kaya dalam kacamata saya. 

Kenyataannya memang rumah-rumah itu dihuni tentara dengan pangkat perwira hingga perwira tinggi. Papa saya waktu itu baru kapten dan hidup sederhana, karena anaknya 5 dan masih ada nenek juga yang tinggal serumah. Sedangkan ibu bukan orang kantoran.

Waktu kecil saya juga pernah merasa kaya, saat papa saya tiba-tiba ngajak ke Gramedia dan mengizinkan saya dan kakak memborong buku cerita yang kami inginkan. 

Seingat saya sampai 20-an buku kami beli padahal biasanya hanya 1 - 2 buku. Kalau tak salah, ternyata waktu itu papa saya baru dapat rezeki uang kiriman dari saudaranya. Jadi bukan karena tiba-tiba jadi kaya mendadak seperti dugaan saya.

Begitulah, representatif kaum atas alias orang kaya, saya peroleh dari contoh-contoh dekat yang dapat saya lihat dengan mata kepala sendiri. 

Zaman itu kan belum ada medsos, jadi saya tidak tahu bahwa di belahan bumi yang lain ada jenis-jenis manusia yang tidak hanya kaya raya tapi juga tajir melintir.

Tajir melintir itu definisinya bagaimana? Ya kaya yang  kaya banget sampai punya pesawat jet atau helikopter sendiri misalnya. 

Berkat medsoslah kita tahu siapa-siapa orang di dunia ini yang punya pesawat pribadi, selalu memakai outfit seharga 5 M dari ujung rambut ke ujung kaki, punya rumah yang besar mewah empat lantai, dan lain sebagainya.

Dan kini anak saya sebelas dua belas dengan saya dalam menilai 'kekayaan' seseorang. Baru-baru ini dia mengajak saya ngobrol.

"Mama kenapa tante-tante itu kaya-kaya semua?"

"Hah? Tante siapa?"

"Tante Ana," dia menyebut nama adik suami (bukan nama sebenarnya).

"Kenapa bisa tante Ana kaya?" tanya saya.

"Karena dia punya televisi besar yang bisa buat nonton netflix dan youtube," jawab anak saya membuat saya tergelak.

Dia memang betah di depan televisi berjam-jam kalau kami berkunjung di rumah tante Ana-nya. Sedangkan di rumah, televisi kami sudah lama tak pernah dinyalakan dan masih televisi lama yang belum diupdate. 

Hal ini menguatkan bukti bahwa kami masuk golongan menengah yang merasa tidak perlu beli televisi besar untuk di rumah. Sebenarnya bukan merasa tidak perlu, tetapi uangnya dipakai untuk kebutuhan lain, hehe.

"Tante yang satu lagi yang kaya siapa?" tanya saya.

"Mama Lily!" teriak anak saya menyebut nama kakak saya (bukan nama sebenarnya).

Saya tergelak dan menanyakan mengapa ia menganggap Mama Lily nya orang kaya.

"Rumahnya villa! Ada pianonya, kamarnya besar-besar, bagus, dan dia punya doggy!"

Oh, ternyata itu definisi kaya Menurut anak saya. Punya doggy masuk indikator orang kaya juga. Memang kakak punya anjing besar untuk menjaga rumah.

"Kalau keluarga kita ini, kaya apa miskin?" tanya saya iseng.

Anak saya terdiam lama. Mungkin mau bilang miskin dia ragu. Mau bilang kaya, ya salah. Ya, memang benar, Nak. Keluarga kita ini masuk middle class yang kaya tidak, miskinpun tidak. Tapi harus tetap bersyukur pada semua limpahan rahmat dari yang Maha Kuasa.

Kalau mengutip lagu dangdut yang dipopulerkan oleh Vety Vera, middle class ini seperti syair lagu ..."yang sedang-sedang saja."

Begini kutipan bait pertamanya:

...Hidup ini jangan serba terlalu
Yang sedang-sedang saja
Kar'na semua yang serba terlalu
Bikin sakit kepala
Terlalu kaya jangan terlalu
Terlalu miskin jangan...

Bagaimana? Apakah Anda juga setuju dengan Mbak Vety Vera?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun