Mohon tunggu...
Indah Noing
Indah Noing Mohon Tunggu... Lainnya - Maminya Davinci

Ibu rumah tangga biasa, punya 3 krucils, pernah bekerja sebagai analis laboratorium klinik selama 10 tahun. Selalu berharap Indonesia bisa maju dan jaya tak kalah dari negeri yg baru merdeka.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Lebih Dekat Analis Laboratorium Kesehatan di Pedalaman

13 November 2014   02:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:56 4480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah saat anda kecil bercita-cita ingin menjadi seorang analis laboratorium kesehatan? Atau jangan-jangan anda tak tahu bahwa profesi tersebut ada? Saat kecil anda mungkin saja pernah bercita-cita menjadi profesi seperti Dokter, Perawat, Bidan, Guru, Pilot, Polisi, Arsitek, Astronot dan lain-lain, tapi saat anda dewasa kadang profesi tidak sesuai yang dicitakan. Tahukah anda apakah profesi analis laboratorium kesehatan itu? Padahal sebenarnya untuk negeri sebesar Indonesia ini profesi Analis Laboratorium Kesehatan masih sangat – sangat dibutuhkan lho.
Analis laboratorium kesehatan adalah profesi yang juga tak kalah mulia dengan profesi lainnya, ia bekerja di bidang kesehatan, di dalam laboratorium ia memeriksa meneliti bahan-bahan pemeriksaan yang bisa berupa darah, urin, tinja, dahak, kerokan kulit, macam-macam cairan tubuhPasien.Hasil dari pemeriksan laboratorium bisa dipakai untuk membantu dokter menegakkan diagnosa dugaan penyakit terhadap pasien, menentukan jenis dan penyebab penyakit pasien, menentukan jenis terapi pengobatan yang tepat untuk pasien dan dipakai juga untuk memantau kondisi pasien selama atau setelah masa pengobatan.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan hematologi , kimia klinik , imunoserologi, parasitologi, mikrobiologi.
Analis bisa saja terinfeksi penyakit akibat dari pekerjaannya yang berkutat dengan bahan- bahan permeriksaan dari pasien, namun tentu saja resiko pekerjaannya tersebut bisa dicegah bila ia selalu menggunakan alat kelengkapan keselamatan dalam bekerja, seperti masker, sarung tangan, dan lain-lain.

Bagi analis laboratorium kesehatan yang bekerja di daerah perkotaan tentulah tak menghadapi banyak kendala dalam ia bekerja. Laboratorium di perkotaan biasanya menggunakan peralatan yang sudah mengikuti perkembangan tehnologi laboratorium terkiniyang makin canggih, dengan segala sarana dan prasarana yang menunjang di perkotaan lebih mudah bagi laboratorium di kota untuk memperoleh kebutuhan yang diperlukan dalam operasional laboratorium. Bagaimana dengan nasib analis laboratorium yang bekerja di pedalaman? Mari cari tahu dengan membaca tulisan ini lebih lanjut.

Indonesia, negeri yang besar dengan jumlah pulau 17480 pulau, yang bila bukan kita yang menjaganya, mungkin satu demi satu akan melepaskan diri diambil atau memilih ikut ke negara yang lebih meperhatikan kesejahteraan pulau-pulau tersebut, mungkinkah? Saya kurang tahu juga, hanya pernah membaca ada beberapa desa di Kalimantan yang mengancam akan bergabung dengan negara tetangga bila Pemerintah RI tak memperhatikan daerahnya yang terisolir, yah bisa dikatakan desanya ketinggalan zaman kali yaa.. ada listrik bila malam itupun karena pakai genset padahal desa itu tidak sebeberapa jauhnya dari negara tetangga yang listriknya tidak byar pet dan sudah memakai tehnologi tenaga surya.

pada tulisan kali ini saya akan menceritakan tentang perjuangan beberapa temanku yang bertugas sebagai analis –analis laboratorium kesehatan yang bekerja di daerah pedalaman Indonesia, ada yang tempatnya cukup terisolir juga. Mari kita mengenal mereka.

1. Pak Alexander, ia adalah seorang analis yang bekerja di laboratorium RS. Lembata, sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Di Rumah Sakit milik Pemerintah ini jumlah pasien yang periksa laboratorium bisa mencapai 50 pasien perhari. Menurut penuturannya, Analis yang bekerja di RS itu ada 13 orang dan dibagi menjadi 3 jam kerja, pagi, siang dan malam. Kasus penyakit yang sering ditemukan adalah Malaria dan TB (Tuberculose). Sebenarnya Rumah Sakit ini sudah mempunyai alat analyzer untuk pemeriksaan Hematologi dan juga alat fotometer untuk pemeriksaan kimia darah, namun dikarenakan alat tersebut rusak, maka pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan cara manual. Pemeriksaan yang rutin dilakukan di RS ini adalah: Malaria, TBC, hitung Lekosit, trombosit, Hemoglobin, Urin lengkap. Menurutku, kurang lengkap yaa.. mengingat ini adalah sebuah Rumah Sakit yang mestinya mempunyai banyak pemeriksaan laboratorium, bila pun kendalanya adalah alat yang rusak, seharusnya dari pihak terkait segera mengusahakan perbaikannya, demi lancarnya operasional laboratorium dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Di rumah sakit ini pemeriksaan Malaria dan TB paling sering dikerjakanmengingat daerah NTT merupakan endemik penyakit tersebut. Namun sejak ada program pengendalian Malaria dan TB jumlah penderita penyakit tersebut mulai berkurang. Pemeriksaan Hemoglobin masih dikerjakan dengan metode Sahli. Hitung sel-sel darah pun juga dilakukan dengan metode manual. Listrik di daerah Lembata ini juga masih sering ada pemadaman, namun di rumah sakit telah tersedia fasilitas genset.

2. Osna, ia adalah seorang analis di RS.Lepra, yang merupakan Rumah Sakit Swasta di kabupaten Lembata. RS ini masih lebih baik keadaannya dari RS.Lembata, memiliki sarana peralatan yang lumayan cukup memadai untuk pemeriksaan laboratorium. Terdapat alat analyzer untuk pemeriksaan Hematologi, ada alat fotometer untuk pemeriksaan Kimia Klinik. Namun kendala yang dihadapi adalah larutan (Reagensia) untuk pemeriksaan laboratorium seringkali lama dikirim dari supplier reagensia yang berada di pualu Jawa, bisa hitungan bulan baru terkirim. Padahal reagensia tersebut sangat dibutuhkan di laboratorium tersebut, sehingga pemeriksaan pun kadang dilakukan secara manual juga.
Osna merupakan analis yang memang berasal dari kepulauan Lembata tersebut dan ia kuliah jurusan analis di kota Malang Jawa Timur, setelah lulus ia kembali ke kampung halamannya mengabdikan diri di tanah kelahirannya.

3. Ibu Ilsiah, ia analis yang bekerja di RS di ibukota kabupaten kepulauan Selayar. Kepulauan Selayar mempunyai banyak pulau-pulau di mana menurut penuturannya, pulau-pulau tersebut ada penghuninya, namun belum semua pulau memiliki sarana puskesmas, bila pun ada belum tentu terdapat analisnya.Kendala-kendala yang dihadapi sebagai analis yang bekerja di kepulauan adalah peralatan laboratorium yang kurang memadai dan juga transportasi antar pulau yang sangat bergantung akan cuaca juga. Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan Malaria dan TB, yang menurutnya juga sejak ada program pengendalian penyakit Malaria & TB, maka penyakit-penyakit tersebut mulai berkurang.

4. Ibu Tati Sumirah, ia sudah 14 tahun menjadi satu-satunya analis yang bekerja di Puskesmas Pulau Jampea yang masih satu kabupaten dengan kepulauan Selayar. Ia bukan orang asli pulau Jampea, ia tinggal di rumah dinas yang di sediakan Pemerintah, perjalanan mudik ke kampung halamannya sekitar 8 jam dengan kapal laut dari pulau Jampea. Ia masih bertahan kerja di pulau Jampea, menurutnya bila ia berhenti kemungkinan tidak ada lagi analis yang bertugas di sana, nasib Puskesmas Jampea akan sama seperti pulau-pulau lain yang ada puskesmasnya namun tidak mempunyai pekerja analis. Di pulau Jampea ini PLN hanya ada mulai jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Padahal untuk menyimpan larutan atau bahan yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium membutuhkan lemari pendingin (kulkas) yang harus selalu menyala, kulkas memakai tenagagenset saat PLN mati, lalu disambungkan ke aliran listrik bila PLN sudah menyala di sore harinya. Pemeriksaan yang sering dilakukan di Puskesmas Jampea juga sama yaitu pemeriksaan Malaria & TB. Pemeriksaan malaria menggunakan metode rapid test sehingga lebih memudahkan kerja Ibu Tati Sumirah karena hanya membutuhkan sedikit darah pasien. Namun bila ternyata hasilnya positif maka ia akan tetap mengkonfirmasi dengan metode melihat sediaan hapus darah dengan mikroskop dan Ibu Tati memeriksanya saat malam hari dikarenakan hanya malam harilah ia bisa menggunakan mikroskop. Demikian pula halnya dengan pemeriksaan TB, ia hanya bisa melakukan pemeriksaan bakteri TB dengan mikroskop pada malam hari, disebabkan mikroskop perlu listrik saat penggunaanya. Untuk pemeriksaan seperti gula darah, asam urat ia menggunakan alat POCT (Point Of Care Testing) alat yg kecil dan bisa dibawa kemana saja ( portable), yang hanya membutuhkan sedikit sampel darah pasien. Pemeriksaan seperti hemoglobin, hitung sel-sel darah pun masih dilakukan dengan metode manual. Ibu Tati terkadang pula mengikuti jadwal puskesmas keliling yang mengunjungi pulau-pulau yang tidak terjangkau oleh pelayanan kesehatan dan letaknya cukup jauh juga. Menurut penuturannya juga, di derah yang endemik Malaria dan TB malah tidak ada kasus demam berdarah, tapi ia mendapatkan juga alat rapid test untuk Dengue dikarenakan baru-baru ini di pulau lain ditemukan kasus demam berdarah.

5.Pak Sidik, ia seorang analis yang bekerja di RSAL di kota Jayapura, Papua. Ia sudah lama bekerja di sana sejak tahun 1990. Menurutnya tidak semua analis yang bekerja di Papua mempunyai keterbatasan peralatan laboratorium, banyak juga laboratorium lain yang rata-rata alatnya sudah lumayan canggih. Saya akui dalam bayangan saya sendiri pun kukira di Papua itu terbelakang sekali dalam teknologi laboratorium kesehatan, ternyata dugaan saya salah. Menurut penuturan pak Sidik, di tempatnya bekerja saja sudah banyak pemeriksaan yang sudah menggunakan alat autoanalyzer seperti untuk test Hematologi, Kimia Klinik, Imunoserologi. Namun untuk pemeriksaan seperti test DNA belum ada alatnya sehingga harus merujuk ke laboratorium di Jakarta.Kendala lainnya adalah tidak adanya laboratorium Patologi Klinik di Rumah Sakit tersebut. Namun menurut penuturannya, seperti halnya di daerah terpencil di Indonesia lainnya, maka banyak daerah di Papua yang sulit dijangkau pun tidak memliki fasilitas pusat kesehatan masyarakat sehingga terkadang pak Sidik dan rekan-rekan analis lainnya bekerja sama dengan Pemda setempat mengunjungi lokasi terpencil tersebut dalam rangka bakti sosial memberikan pelayanan kesehatan. Terkadang perjalanan bakti sosial ini bisa menggunakan helikopter karena lokasi yang sulit dijangkau. Terkadang perjalanan menggunakan kapal laut , perahu karet, sekoci dan bisa menempuh waktu yang lama sehingga harus bermalam di pulau yang tidak ada penghuninya. Bila ada bakti sosial kesehatan masyarakat yang datang memeriksakan kesehatannya bisa banyak jumlahnya hampir satu kecamatan yang datang, bisa lebih dari 500 orang dan lama bakti sosial bisa 2-3 hari berlangsung. Padahal alat-alat yang dibawa untuk pemeriksaan hanya berupa rapid test untuk pemeriksaan Malaria dan TB dan alat POCT untuk pemeriksaan gula. Tidak membawa mikroskop karena bila dengan mikroskop membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk memeriksa selain juga karena tidak tersedianya listrik bagi penggunaan mikroskop. Bakti Sosial ini diadakan tiap 3 bulan sekali.

6. Desi N Falo, hanya ia seorang analis yang bekerja di Puskesmas Polen NTT. Di Puskesmas ini pun ia bahkan tidak memiliki ruangan khusus laboratorium, sementara ia memakai ruang poli gigi untuk bekerja. Menurut Desi alat-alat laboratorium dan larutan (reagensia) yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium kurang memadai padahal banyak penyakit yang membutuhkan pemeriksan laboratorium, misalnya untuk pemeriksaan gula saja ia tidak bisa melakukannya, bahkan pemeriksaan hematologi rutin ia juga tidak bisa melakukannya. Hanya pemeriksaan hemoglobin ia melakukan dengan metode Sahli, pun larutan NaCl nya ia beli dengan uangnya sendiri. Pemeriksaan yang bisa dilakukan selain periksa Hemoglobin, hanya pemeriksaan Malaria dan TB. Penyakit Malaria dan TBC memang masih merupakan endemik di daerah NTT, bahkan menurut Desi ada satu desa yang bernama Laob yang disebut sebagai kantung TB (Tuberculose). Penduduk Laob tidak cukup mampu untuk bisa pergi ke Puskesmas tempat Desi bekerja. Perjalanan menggunakan ojek bisa kena biaya 100 ribu sekali jalan, bagi masyarakat lebih baik uang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Maka Desi lah yang datang ke desa tersebut menggunakan motor, lama perjalanan 3 jam, dengan kondisi jalan yang rusak, terkadang bila hujan bisa hampir 6 jam ia sampai di desa itu, ia harus melewati sungai tanpa jembatan. Bila hujan pun jalan tidak bisa dilalui motor. Ia harus berjalan kaki.
Desi mendatangi penduduk, ia mengetuk pintu dari rumah ke rumah, mencari pasien TB. Ia mengambil sampel berupa dahak satu keluarga setiap rumahnya. Ia tidak membawa mikroskop ke desa tersebut, ia cukup melakukan pembuatan pembuatan preparat dari dahak perpasien, lalu difiksasi. Pewarnaan BTA (Bakteri Tahan Asam) dan pemeriksaan menggunakan mikroskop dilakukan setelah kembali ke Puskesmas. Bila ia mendapatkan hasil positif TB maka ia akan memberi info ke Suku dinas Kesehatan. Kemudian Tenaga Suku Dinas lah yang akan turun langsung ke penderita TB tersebut memberikan pengobatan, Penderita TB memerlukan kedisiplinan dalam ia mengkomsumsi obatnya, Sehingga demi kesuksesan proses penyembuhan penyakit TB maka di setiap desa tersebut ada penduduk yang menjadi kader TB dan memantau kedisiplinan penderita TB dalam meminum obat di desa tersebut.
Terkadang Desi juga melakukan pengambilan darah massal di desa, Desi meminta tolong kepada Suku Dinas agar mengirimkan tenaga bantuan 6 orang tenaga analis dalam penyelenggaraan acara tersebut. Hal ini dikarenakan di desa-desa bisa 1000 orang yang datang memeriksakan kesehatannya, mereka melakukan acara ini 2x setahun.

[caption id="attachment_334931" align="alignnone" width="640" caption="Desi Dkk menuju Desa Laob melewati sungai tanpa jembatan"][/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun