Mohon tunggu...
Indah Mutiara Sari
Indah Mutiara Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa asal Kebumen, Jawa Tengah.

Pengen jadi jurnalis. A part of @kewpedia dan penulis buku Seni Menata Cita: Bermimpi, Berjuang, Bermetamorfosa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Childfree: Keputusan Melenceng dan Egois?

30 Juni 2021   20:04 Diperbarui: 30 Juni 2021   20:34 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah childfree baru-baru ini mencuat menjadi perbincangan hangat di berbagai media dan tongkrongan diskusi anak muda. Pasalnya, salah satu Youtuber yang terkenal di kalangan millennials, Gita Savitri Devi, Youtuber yang berdomisili di Jerman bersama suaminya ini dikabarkan memilih untuk menjadi pasangan childfree. Childfree adalah istilah yang disematkan kepada orang atau pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak, walaupun secara biologis mereka mampu memiliki anak. Childfree sebenarnya sudah banyak diterapkan oleh masyarakat di negara maju seperti Amerika Serikat. Di Indonesia, topik ini mencuat setelah Youtuber Gita Savitri memilih childfree. Keputusan Youtuber yang kerap disapa Gitasav ini mengejutkan publik dan menuai banyak komentar negatif dari netizens. Mengapa?

Sekolah, bekerja, menikah, dan mempunyai anak. Pattern inilah sering yang dilakoni dan dianut sebagian besar masyarakat Indonesia yang menunjung tinggi budaya dan adat keluarga tradisional. Setelah lulus sekolah atau kuliah, akan dianggap ideal jika kita bekerja. Setelah dianggap stabil pekerjaannya, kemudian individu dituntut menikah. Setelah menikah, dituntut mempunyai anak. Begitulah gambaran kehidupan seseorang yang dianggap 'ideal' dalam budaya Indonesia. Sedikit saja melenceng, maka bersiaplah untuk mendapatkan berbagai 'nyinyiran' yang menyudutkan dengan menjustifikasi dan berdalih bahwa golongan masyarakat ini melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Sama halnya ketika ada individu atau pasangan yang memutuskan untuk menjadi childfree. Berbagai asumsi negatif bermunculan. Berbagai spekulasi dibangun dengan menyenggol agama, ras, budaya, hal-hal personal dan mendasar lainnya. Banyak spekulasi yang juga mencuat yang mendeklarasikan bahwa penganut childfree adalah orang-orang yang egois, yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Seolah-olah pasangan childfree enggan untuk direpotkan dengan kehadiran anak. Padahal, banyak juga alasan-alasan lain yang make-sense yang membuat orang-orang memutuskan childfree.

Alasan orang memilih childfree pun beragam, bukan semata-mata karena tidak ingin direpotkan dengan kehadiran anak. Salah satu alasan yang kerap diungkap adalah pengalaman yang kurang menyenangkan yang berkaitan dengan anak. Selain itu, pengalaman dengan orang tua yang dirasa buruk juga dapat mendorong seseorang untuk menjadi childfree. Pengalaman-pengalaman ini membentuk awan hitam dalam pikiran si pelaku yang sulit dihilangkan bahkan dalam kurun waktu yang lama. Pada akhirnya, pengalaman inilah yang mendorong pikiran bahwa memiliki anak mungkin saja dapat berpengaruh negative terhadap kondisi mental seseorang.

Selain itu, orientasi terhadap kehidupan yang harus selaras dengan alam pun kerap menjadi alasan. Dengan melahirkan satu anak saja, dapat menimbulkan banyak karbondioksida yang akan memperparah lapisan ozon. Berapa banyak sampah yang dihasilkan dari satu individu? Berapa banyak makanan yang dibutuhkan satu individu selama hidupnya? Berapa banyak oksigen yang dibutuhkan oleh satu individu dalam hidupnya? Mungkin pertanyaan-pertanyaan inilah yang kerap muncul di benak para penganut childfree. Berbagai pertimbangan yang berorientasi pada alam kerap menjadi hal utama dan pertama dikemukakan oleh penganut childfree.

Selain itu, bagi sebagian penganut childfree, mereka lebih memilih fokus dalam pekerjaannya yang dianggap lebih penting. Setiap individu mempunyai tanggung jawab yang berbeda terkait finansial. Ada yang menjadi tulang punggung keluarga. Ada yang menanggung biaya Pendidikan saudaranya. Ada yang mempunyai cita-cita berbisnis yang membutuhkan modal besar. Ada yang ingin membeli kendaraan dan tempat tinggal. Hal-hal inilah yang membuat individu memilih fokus pada pekerjaan dan karir sehingga memilih menjadi childfree.

Pada dasarnya, menjadi childfree bukanlah sebuah keputusan yang mudah dan dibuat hanya dengan satu kali berpikir. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blackstone and Stewart (2016) menyatakan bahwa dalam proses menentukan menjadi childfree dibutuhkan proses berpikir yang panjang yang dibuat secara hati-hati dan sadar, tidak bersifat instan. Jadi, memutuskan untuk childfree bukanlah semata-mata keputusan yang tergesa-gesa. Penelitian yang sama menunjukkan bahwa alasan seorang wanita memutuskan menjadi childfree sering dikaitkan dengan karir atau pekerjaan professional. Bahkan penelitian mengungkapkan bahwa perempuan yang memutuskan untuk childfree adalah perempuan-peremuapn yang lebih berpendidikan (well-educated) dan tinggal di daerah perkotaan.

Millennials Indonesia yang sangat mudah menerima dan berbagai insight dan knowledge akan sangat mudah menerima gagasan childfree ini karena pemikiran yang terbuka, luas, serta tingkat keingintahuan yang tinggi. Millennials kemudian mencari tahu tentang childfree dan mungkin saja akan memutuskan childfree dengan alasan tertentu yang masuk akal.

Menjadi childfree adalah hak setiap orang dan pasangan. Namun, alasan yang mendasari pilihan menjadi childfree haruslah jelas, masuk akal, dan tidak menyalahi individu lainnya. Pasangan childfree juga harus bersiap dengan konsekuensi yang diambil, misalnya konsekuensi sosial yang kerap muncul di tengah masyarakat. Masyarakat yang memilih mempunyai anak haruslah paham bahwa tidak semua orangn memilih jalan yang sama. Terkadang, individu memilih jalannya sendiri dengan alasan yang ia genggam sendiri. Jadi, mulailah memanusiakan manusia dengan memberikan kebebasan memilih untuk menjadi childfree ataupun mempunyai anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun