Bayangan di Ujung Senja
Di sebuah desa kecil yang sunyi, tinggal seorang gadis bernama Nisa, 13 tahun, yang hidup bersama ibu tirinya, Bu Mirah, dan adik tirinya, Rani, yang baru berusia 9 tahun. Sejak kedua orang tua kandung Nisa meninggal dalam kecelakaan saat ia berusia 5 tahun, ia diasuh oleh Bu Mirah---perempuan yang dinikahi ayahnya sebelum tragedi itu merenggut segalanya.
Namun sejak kepergian ayah Nisa, perlakuan Bu Mirah berubah drastis. Jika dulu ada senyum manis saat menyuapi Nisa kecil, kini hanya sisa ketus dan dingin yang menyambutnya setiap hari.
"Nisa, kenapa cucian belum selesai juga?! Dasar pemalas!" hardik Bu Mirah suatu sore.
"Aku baru saja pulang sekolah, Bu. Tadi ada kegiatan tambahan di kelas," jawab Nisa lirih, tangannya masih memegang buku pelajaran.
"Alasan! Kamu pikir rumah ini hotel, ya? Bisa seenaknya datang dan pergi tanpa memberitahu orang tua?! Lihat tuh, adikmu Rani saja sudah bantu Ibu beresin dapur. Kamu hanya tahu belajar, tapi tak pernah tahu diri!"
Nisa menunduk. Ia tahu, membela diri hanya akan memperpanjang kemarahan ibu tirinya. Bu Mirah selalu menyalahkan Nisa atas hal sekecil apa pun. Ketika gelas pecah, walau jelas Rani yang menjatuhkannya, Bu Mirah tetap menunjuk Nisa sebagai biang kerok.
"Nisa itu pembawa sial," begitu katanya kepada tetangga. "Kalau bukan karena janji almarhum suami saya, sudah sejak dulu saya kirim dia ke panti!"
Namun Nisa tetap bertahan. Ia percaya, selama ia tidak membalas kebencian dengan kebencian, ia masih punya harapan. Ia mencintai adik tirinya, Rani, meskipun sering mendapat perlakuan tidak adil. Setiap malam, ia menyelimuti adiknya dengan lembut, memastikan gadis kecil itu tidur nyenyak.
Suatu hari, Rani jatuh sakit. Demam tinggi, tubuhnya menggigil. Bu Mirah panik, tapi tak tahu harus berbuat apa. Dokter di desa sedang tidak ada, dan apotek sudah tutup.