Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Burung Sriti Turun, Musim Batuk Pilek Mulai

6 Oktober 2025   17:32 Diperbarui: 6 Oktober 2025   20:35 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Burung Sriti burung pertanda sebentar lagi hujan (Sumber: dokumen pribadi)

Burung sriti kembali menukik rendah di langit desa, menandai pergantian musim yang datang perlahan. Suaranya menggema di antara atap rumah dan lumbung padi, mengingatkan warga bahwa hujan akan segera menyapa bumi.

Bagi orang kota, mungkin hanya sekadar pemandangan biasa. Namun bagi warga desa, kedatangan burung sriti adalah pesan halus dari alam. Ia menandakan bukan hanya turunnya hujan, tetapi juga datangnya musim batuk, pilek, dan tubuh yang perlu dijaga.

Sriti, Sang Penanda Langit

Ketika burung sriti mulai terbang rendah di sekitar sawah, warga desa tahu udara mulai berubah. Angin berembus lembap, serangga berterbangan rendah, dan langit sore menebarkan aroma tanah yang sebentar lagi basah.

Orang tua di desa menyebutnya "tande ujan", tanda bahwa musim kemarau hampir berpamit. Mereka tak perlu ramalan cuaca atau aplikasi ponsel, cukup mengamati arah terbang sriti dan kelebatan sayapnya di antara pohon pisang.

Sriti seakan menjadi kalender alam yang hidup. Ia tak pernah bohong, selalu datang pada waktu yang sama, tepat sebelum hujan pertama membasuh sawah dan jalan desa yang mulai retak oleh kemarau panjang.

Ketika Alam Berubah, Tubuh Ikut Menyesuaikan

Di balik keindahan turunnya hujan, tubuh manusia sering kali perlu waktu untuk beradaptasi. Udara lembap membawa debu dan virus yang mudah menyebar, menyebabkan batuk, pilek, hingga demam di banyak rumah.

Anak-anak mulai bersin di pagi hari, sementara orang tua menyiapkan minyak kayu putih dan ramuan tradisional dari jahe serta sereh. Mereka tahu, musim pancaroba bukan sekadar perubahan cuaca, melainkan juga ujian bagi daya tahan tubuh.

Warga desa menanggapi ini dengan kesabaran dan kehati-hatian. Mereka percaya, tubuh dan alam memiliki ritme yang sama, dan yang penting adalah menjaga keseimbangan di antara keduanya dengan istirahat, asupan hangat, dan niat syukur.

Kearifan Lokal Menyambut Hujan

Menjelang turunnya hujan, ibu-ibu di dapur menanak wedang jahe, menyiapkan lauk pedas, dan menggantung pakaian agar cepat kering sebelum hujan pertama turun membasahi pekarangan. Suasana rumah menjadi lebih hangat.

Para petani mulai menambal pematang sawah dan membersihkan saluran air. Mereka menyiapkan benih, memperbaiki lumbung, serta berdoa agar hujan datang tepat waktu --- tidak terlalu deras, tidak terlalu lambat.

Di sela kerja itu, mereka bersyukur atas tanda-tanda kecil dari alam: turunnya burung sriti, embusan angin basah, dan suara petir di kejauhan. Semua itu bagian dari irama hidup yang telah mereka pahami turun-temurun.

Burung sriti bukan sekadar burung. Ia adalah bagian dari bahasa alam yang diajarkan sejak dulu. Bagi warga desa, memahami tanda-tanda seperti ini berarti belajar mendengar kembali suara bumi --- lembut, pelan, tapi penuh makna.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun