Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Rembuk Stunting Desa Pengembur: Dari Tabungan Melahirkan hingga Harapan Nol Stunting

30 September 2025   08:46 Diperbarui: 30 September 2025   08:46 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penanganan stunting adalah kerja panjang dan kolektif. Empati, inovasi, pengawasan pangan, serta gotong royong lintas sektor. (SUmber: Dokpri)

Rembuk stunting di Desa Pengembur dihadiri berbagai unsur penting: kader posyandu, pemerhati perempuan, Dinas Pendidikan Kabupaten, camat, pihak puskesmas, kepala desa, hingga perangkat desa termasuk para kepala dusun. Kehadiran lintas pihak ini menunjukkan bahwa stunting memang isu bersama, bukan sekadar urusan medis.

Koordinator Kecamatan Pendamping Desa (PD) tampak tidak hadir dalam rembuk stunting, begitu pula Kader Pembangunan Manusia (KPM). Menurut penuturan Kepala Desa, KPM mungkin sibuk mengurus bisnisnya yang mulai berkembang pesat. Sementara itu, PD hanya mengutus perwakilan melalui Pendamping Lokal Desa (PLD).

Padahal, keterlibatan keduanya sangat penting dalam forum semacam ini. Kehadiran mereka bukan sekadar simbolis, melainkan krusial untuk memastikan koordinasi berjalan menyeluruh. Absennya dua unsur utama ini menjadi tanda bahwa sinergi lintas peran di desa masih belum sepenuhnya utuh.

Stunting Masih Jadi Momok

Stunting tetap menjadi momok di Desa Pengembur, Kecamatan Pujut. Berdasarkan data Puskesmas, 58 anak tercatat mengalami kondisi ini. Angka tersebut relatif tinggi, mencerminkan kerentanan sosial ekonomi masyarakat desa terhadap keterbatasan gizi, layanan kesehatan, dan akses pangan sehat yang terjangkau.

Namun, tantangan terbesar justru terletak pada perbedaan data. BKKBN melalui aplikasi SIGA mencatat 367 keluarga risiko stunting, sementara pemerintah desa hanya mencatat 155 anak. Ketidaksamaan ini menunjukkan pentingnya validasi serta sinkronisasi data sebagai dasar intervensi kebijakan yang tepat sasaran.

Tanpa basis data akurat, kebijakan penanganan berpotensi tidak efektif. Salah sasaran bukan hanya menghambat capaian target, tetapi juga bisa memperlebar kesenjangan sosial. Padahal, di desa, setiap anak yang luput dari perhatian adalah potret masa depan bangsa yang terabaikan.

Menariknya, Kepala Desa Pengembur berusaha memberi teladan sederhana. Ia memilih tidak mengunggah foto makan di warung mewah ke media sosial. Bagi sebagian orang, ini sepele. Namun di desa, sikap ini justru menjaga martabat masyarakat dan menguatkan rasa kebersamaan.

Pola Konsumsi Anak dan Keresahan Kecamatan

Camat Pujut menyoroti keresahan nyata: pola konsumsi anak-anak desa. Belum ada aturan jelas mengenai usia anak boleh bertransaksi. Akibatnya, mereka dengan bebas membeli makanan di warung tanpa bimbingan. Banyak di antaranya justru makanan tidak sehat yang memperburuk kondisi gizi.

Kebanyakan jajanan anak sekolah mengandung gula, pewarna, atau bahan tambahan berlebih. Anak-anak memilih makanan berdasarkan tampilan visual, bukan kandungan gizi. Kebiasaan ini, jika dibiarkan, perlahan membentuk pola konsumsi berisiko yang dapat memicu gizi buruk bahkan memperkuat rantai stunting.

Tanggung jawab pengawasan pangan tidak bisa hanya ditanggung orang tua. Sekolah, pemerintah desa, hingga lembaga pengawas pangan seperti Badan POM harus bersinergi. Tanpa pengawasan kolektif, anak-anak akan terus terpapar makanan berisiko yang dijual bebas tanpa standar keamanan yang memadai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun