Di banyak desa, kenduri selalu bermakna doa bersama, ucapan syukur, atau tanda duka. Kali ini, kenduri tidak disajikan dengan nasi tumpeng atau lauk pauk, melainkan dengan derang panci yang dipukul serentak di Bundaran UGM pada hari Jumat, 26 September kemarin. Suatu simbol keprihatinan sekaligus doa.
Aksi Kenduri Suara Ibu lahir dari keresahan terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah yang menimpa pelajar di Bandung Barat dan wilayah lain. Dari desa hingga kota, suara ibu disatukan, mengingatkan bahwa pangan anak-anak tidak boleh lagi menjadi arena kelalaian.
Panci dan Suara dari Dapur
Bagi ibu-ibu, panci adalah benda yang sehari-hari identik dengan kehidupan. Bunyi dentingnya biasanya menandai waktu makan, tanda kasih sayang dalam bentuk sederhana. Kini, panci yang sama dibawa ke jalan, menjadi alat protes yang menggema di ruang publik.
Derang panci di Bundaran UGM bukan sekadar bunyi bising tanpa arti. Ia mewakili kegelisahan banyak keluarga, bahwa makanan yang mestinya menyehatkan justru bisa berujung malapetaka. Suara itu menuntut tanggung jawab atas keselamatan anak-anak bangsa yang dikorbankan.
Dalam tradisi, setiap bunyi memiliki makna. Kentongan misalnya, dipukul sebagai tanda bahaya atau panggilan darurat. Maka panci yang dipukul di tengah kota membawa pesan jelas: ini darurat pangan. Negara harus mendengar sebelum masalah ini menelan korban lebih besar.
Ironi di Balik Warna Ceria
Dresscode ceria yang dipilih dalam aksi Kenduri Suara Ibu menimbulkan tafsir berlapis. Dari luar, ia tampak penuh warna, seolah merayakan kehidupan. Namun bagi mata awas, warna itu adalah sindiran: di balik keceriaan, anak-anak justru menyimpan ancaman kesehatan.
Ibu-ibu sengaja tidak memakai hitam agar aksi tidak dianggap duka biasa. Warna-warna cerah adalah cermin ironi, kontras dengan luka yang ditimbulkan oleh program MBG. Desa melihatnya sebagai pengingat bahwa wajah riang anak sekolah bisa menyembunyikan bahaya yang tak terlihat.
Di desa, warna sering dipakai sebagai simbol perasaan. Kuning untuk syukur, putih untuk doa, merah untuk semangat. Maka warna ceria dalam aksi ini dibaca sebagai ajakan optimisme. Kendati luka masih terasa, ibu-ibu percaya perubahan tetap mungkin diperjuangkan bersama.
Desa dan Luka Pangan Bangsa
Kasus keracunan massal MBG menyingkap rapuhnya sistem pangan nasional. Bagi desa, ini bukan sekadar insiden medis, melainkan tanda bahwa distribusi makanan tidak terawasi dengan baik. Vendor yang dipercaya justru lalai, sementara pengawasan pemerintah berjalan longgar dan hanya sebatas prosedur.