Ironisnya, desa memiliki sumber pangan sehat yang melimpah. Singkong, jagung, sayur, dan buah tersedia di pekarangan. Namun, penyediaan makanan di sekolah sering dipercayakan pada vendor luar yang tak selalu memedulikan mutu. Potensi lokal terpinggirkan, sementara anak-anak dipaksa menerima risiko.
Tragedi Bandung Barat menyadarkan bahwa negeri agraris belum tentu menjamin keamanan pangan. Desa yang mestinya jadi benteng terakhir justru ikut tergilas sistem distribusi dari luar. Karena itu, suara ibu desa kian tegas: sudah saatnya kembali menghargai pangan lokal sebagai penopang utama gizi.
Dari Kenduri ke Gerakan
Derang panci di Bundaran UGM bukan akhir, melainkan awal dari sebuah gerakan. Desa memahami bahwa masalah pangan tidak bisa selesai dengan sekali protes. Ia menuntut pembenahan sistemik: mulai dari pengawasan vendor, transparansi distribusi, hingga keterlibatan pangan lokal.
Kenduri Suara Ibu mengingatkan bahwa perjuangan menjaga anak-anak bukan urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kolektif. Di desa, kenduri selalu diikuti kebersamaan, dari menyiapkan hidangan hingga berdoa bersama. Semangat itu kini dipindahkan ke ruang publik sebagai kekuatan moral bangsa.
Jika suara panci hanya dianggap bising, maka negara gagal membaca pesan. Desa telah berbicara dengan caranya sendiri: sederhana namun bermakna. Kenduri Suara Ibu menandai bahwa perlawanan bisa dimulai dari hal-hal kecil, demi menjaga kehidupan yang lebih besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI