Di banyak sudut Nusantara, legenda lahir dari ruang antara realitas dan imajinasi. Cerita rakyat tak sekadar dongeng pengantar tidur, tetapi potret sosial yang merekam bagaimana masyarakat memahami alam, kuasa, dan manusia. Di Lombok Barat, kisah Putri Cilinaye menjadi cermin berlapis.
Kisah ini bukan hanya tragedi asmara, melainkan refleksi lebih dalam tentang perempuan yang kehilangan hak menentukan nasib. Dalam perspektif pembangunan hari ini, terutama SDGs Desa pada tujuan kelima, legenda itu terasa relevan. Ia menyingkap pentingnya keterlibatan perempuan dalam ruang keputusan desa.
Jejak Legenda di Gunung Sasak
Di ketinggian Gunung Sasak Kuripan, kisah lama bersemayam di antara kabut dan batu-batu keramat. Legenda Putri Cilinaye hidup sebagai cerita yang diwariskan turun-temurun. Kisah ini bukan hanya dongeng, melainkan refleksi sosial tentang perempuan, kekuasaan, dan keterpinggiran.
Batu Kemberas, yang dianggap sakral, diyakini sebagai tempat Datu Daha membawa sesembahan kepada Sang Penguasa Semesta. Konon, Raja Daha pernah bernazar: bila dikaruniai anak, ia akan mempersembahkan seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak di batu keramat itu.
Namun, saat nazar terkabul melalui kelahiran seorang bayi perempuan, janji agung itu tak ditunaikan sebagaimana mestinya. Sesaji yang dipersembahkan berbeda dari ikrar awal. Konon, alam murka, angin kencang menerbangkan sang bayi hingga terdampar di Tanjung Menangis.
Cilinaye ditemukan pasangan petani, Amaq Bangkol dan Inaq Bangkol, yang tidak memiliki anak. Di bawah asuhan sederhana, ia tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Namun, kecantikan yang mestinya membawa berkah, justru menjerumuskannya dalam kisah cinta dan penolakan sosial yang tragis.
Perjumpaannya dengan Raden Panji membuka babak baru. Seorang pangeran jatuh cinta pada gadis desa. Tetapi, sistem sosial yang kaku menolak cinta tersebut. Perbedaan status antara bangsawan dan rakyat jelata menjelma tembok yang tak tergoyahkan, menutup ruang kedaulatan pribadi Cilinaye.
Tragedi Perempuan Tak Berdaulat
Raja Keling, ayah Raden Panji, menolak hubungan keduanya. Baginya, seorang pangeran harus menyunting gadis ningrat, bukan perempuan desa. Tekanan kekuasaan membuat Cilinaye kehilangan kendali atas nasibnya. Keputusasaan membawanya pada kematian tragis, meninggalkan jejak darah harum penuh simbolisme.
Darah wangi itu dimaknai sebagai tanda bangsawan. Namun, justru di situlah paradoks tersimpan. Selama hidup, Cilinaye dianggap tidak pantas karena status sosialnya. Setelah kematian, darahnya dijadikan bukti kebangsawanan. Ia tetap tidak memiliki kendali atas tubuh dan identitasnya.
Kisah ini memperlihatkan betapa perempuan, khususnya dari kalangan desa, kerap ditempatkan sebagai objek. Baik dalam cinta, politik, maupun simbolisme, mereka jarang diberi ruang menentukan arah hidupnya. Legenda ini menggemakan persoalan klasik yang masih relevan hingga kini.
Jika Lombok Tengah memiliki Putri Mandalika, Lombok Barat menjaga kisah Putri Cilinaye. Keduanya sama-sama simbol perempuan yang kehilangan kedaulatan atas diri. Dalam bingkai modern, legenda ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap sistem sosial yang menyingkirkan suara perempuan.
Membaca Ulang Cilinaye Perspektif SDGs Desa
SDGs Desa melalui tujuan kelima menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dalam pembangunan. Bukan sekadar partisipasi simbolik, melainkan ruang berdaulat untuk memutuskan, merencanakan, dan memimpin. Dalam konteks ini, kisah Cilinaye bisa menjadi cermin sekaligus pengingat kolektif.
Perempuan desa masih kerap menghadapi tembok yang sama seperti Cilinaye. Bukan lagi berupa larangan raja, tetapi terbentuk dari tradisi, budaya, dan struktur ekonomi yang bias gender. Banyak perempuan memiliki potensi besar, namun terkunci oleh sistem yang tidak ramah.
Membaca ulang legenda Cilinaye berarti mengubah tragedi menjadi inspirasi. Dari kisahnya, lahir kesadaran bahwa keterlibatan perempuan tidak boleh dihalangi status, garis keturunan, atau stereotip sosial. Desa yang berkelanjutan menuntut pengakuan terhadap suara perempuan sebagai bagian inti pembangunan.
Implementasi SDGs Desa menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam berbagai bidang: dari pengelolaan lingkungan, inovasi ekonomi kreatif, hingga kepemimpinan sosial. Desa tanpa keterlibatan perempuan akan kehilangan setengah kekuatan. Cilinaye mengingatkan kita pada harga yang harus dibayar jika perempuan disingkirkan.
Dari Legenda ke Aksi Nyata
Esensi kisah Cilinaye bukan untuk dikenang sebagai dongeng tragis, tetapi sebagai penggerak refleksi. Desa-desa di Lombok Barat, dan Nusantara pada umumnya, dapat menghidupkan kembali nilai ini melalui kebijakan nyata yang menjamin keterlibatan perempuan secara setara.
BUMDes, kelompok tani, dan forum musyawarah desa seharusnya menjadi ruang bagi perempuan. Mereka tidak hanya hadir sebagai pelengkap, tetapi berperan dalam pengambilan keputusan. Jika dulunya Cilinaye terhalang oleh status, maka kini desa wajib membuka jalan bagi generasi penerusnya.
Pelibatan perempuan bukan sekadar memenuhi indikator. Ia menjadi strategi pembangunan berkelanjutan. Perempuan membawa perspektif berbeda, terutama dalam mengelola sumber daya alam, mengatasi kerentanan sosial, dan membangun solidaritas desa. Perspektif ini membuat pembangunan desa lebih inklusif dan tangguh.
Legenda Cilinaye telah dipentaskan dalam drama gong “Penginang Robek”, namun kini panggung sesungguhnya adalah desa-desa yang sedang bergerak menuju pembangunan berkelanjutan. Kisah tragis itu harus menjadi inspirasi agar perempuan tidak lagi hanya menjadi simbol, tetapi pemimpin yang berdaulat di tanahnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI