Dari desa yang jauh dari istana, kami menyimak berita tentang 141 tokoh yang menerima tanda kehormatan dari Presiden. Nama-nama besar diumumkan, mulai pejabat, seniman, hingga tokoh yang telah tiada. Semua tampak khidmat, semua tampak berwibawa.
Namun, di balik kilau medali yang dipasangkan di dada tokoh-tokoh itu, rasa getir muncul. Kami di desa menganggap tanda kehormatan bukan hanya simbol negara, melainkan penanda moral. Kehormatan bukan sekadar medali emas, melainkan cermin kesucian jasa.
Ketika cermin itu memantulkan wajah-wajah yang penuh jasa, hati kami ikut berbangga. Tetapi ketika bayangan masa lalu yang penuh noda ikut terpampang di dalamnya, kami merasa cermin itu retak. Kilau medali tidak lagi sejernih yang kami harapkan.
Desa bukan penonton yang buta. Dari sawah, ladang, dan jalan berlubang, kami tahu betul bahwa kehormatan harus diraih dengan kerja bersih. Korupsi telah menggerogoti pembangunan. Maka, mendengar nama mantan koruptor mendapat bintang terasa seperti penghinaan.
Bagi kami, medali itu kini membelah hati. Ada syukur karena banyak tokoh besar layak dihormati, tetapi ada getir karena luka lama diingatkan kembali. Penghargaan negara seharusnya mempersatukan, namun kali ini justru menyisakan rasa pahit di dada rakyat kecil.
Suara Desa di Balik Retakan
Di desa, sejarah republik ditulis dengan caranya sendiri. Tidak lewat arsip negara, melainkan lewat jalan yang tak pernah diaspal, sekolah yang masih bocor, dan jembatan yang tak kunjung selesai dibangun. Semua itu jejak nyata anggaran di perjalanan.
Ketika kami mendengar mantan koruptor menerima tanda kehormatan, luka itu seperti disiram garam. Bagi rakyat desa, korupsi bukan sekadar kasus hukum. Ia adalah kenyataan sehari-hari, pupuk bersubsidi langka, bantuan macet, program pembangunan terhenti tanpa alasan jelas.
Itulah mengapa penghargaan kepada mereka yang pernah merampok hak rakyat terasa seperti retakan besar di cermin republik. Cermin yang seharusnya memantulkan wajah jernih bangsa kini pecah-pecah, memantulkan bayangan yang terdistorsi dan menyesakkan hati rakyat kecil.
Kami tidak pandai dalam logika politik. Kami hanya tahu hidup dari kerja keras dan berharap negara adil. Ketika koruptor mendapat medali, pesan yang kami tangkap sederhana: kejahatan masa lalu bisa dilupakan, seolah derita rakyat hanyalah catatan pinggiran.
Mungkin, seperti kata para tetua desa, ini adalah cara Tuhan mengingatkan bangsa. Supaya kita tidak pernah lupa bahwa korupsi adalah musuh bersama. Bahwa retakan dalam cermin republik itu harus ditempeli terus, agar bangsa ini tak hancur dari dalam.