Di ruang pertemuan Raja Hotel, Mandalika, hadir berbagai unsur—kepala desa, perangkat, pemuda pelopor, pengurus koperasi desa, dan lainnya. Mereka duduk mendengarkan narasi hukum yang dibingkai dalam bahasa pemberdayaan. Di hadapan mereka, pesan itu jelas: koperasi desa/kelurahan bukan sekadar wadah ekonomi, melainkan ruang moral penguji integritas.
Wakil Bupati Lombok Tengah membuka acara dengan nada optimistis. Namun di balik sambutannya, terselip sebuah pertanyaan reflektif: mampukah desa menjaga koperasi agar tidak tergelincir dalam jebakan klasik—korupsi dan penyalahgunaan kewenangan? Pertanyaan itu bergema di antara dinding hotel, memanggil kesadaran kolektif yang kerap terlupa.
Biro Hukum Kementerian Desa menjadi tuan rumah. Namun, lebih dari sekadar agenda formal, sosialisasi ini terasa seperti cermin. Desa-desa di Lombok Tengah diundang untuk menatap wajahnya sendiri, bercermin pada perjalanan panjang koperasi di desa yang sering jatuh bangun. Apakah kita benar-benar telah belajar dari luka lama?
Tiga narasumber tampil, bukan sebagai pengajar yang berdiri lebih tinggi, tetapi sebagai sahabat yang mengetuk nurani. Mereka menghadirkan suara hukum, ekonomi, dan pengawasan. Dari perspektif inilah, koperasi desa dilihat tidak hanya sebagai instrumen teknis, melainkan arena kehidupan sosial yang penuh risiko dan peluang.
Kesadaran hukum pada akhirnya bukan sekadar menghindari jerat hukum. Ia adalah soal martabat. Desa yang sadar hukum adalah desa yang menjaga harga diri warganya, menolak untuk diperbudak oleh praktik culas, dan berani membangun masa depan dengan kejujuran.
Menggali Potensi, Menolak Pasrah
Sesi pertama dibuka oleh Lalu Rinjani, Kepala Dinas PMD Lombok Tengah. Ia menekankan betapa desa bukanlah entitas kecil yang pasif menunggu uluran. Desa memiliki potensi ekonomi yang besar, yang bisa diolah melalui BUM Desa dan koperasi. Optimisme itu disampaikan dengan keyakinan mendalam.
Namun, potensi tidak pernah menjelma menjadi kekuatan jika desa hanya pasrah pada nasib. Perlu keberanian kolektif membaca peluang, menata administrasi, hingga berani mengambil risiko yang terukur. BUM Desa dan Koperasi Merah Putih adalah laboratorium keberanian itu.
Bagi sebagian desa, koperasi kadang dipandang sebatas formalitas. Ada kantor, ada pengurus, ada rapat tahunan—tetapi roda ekonomi tidak bergerak. Lalu Rinjani mengingatkan, koperasi harus hidup. Ia harus menjadi urat nadi yang mengalirkan manfaat langsung bagi anggota dan masyarakat desa.
Optimisasi potensi desa bukanlah soal modal besar dari Dana Desa. Ia harus berangkat dari hal sederhana: tanah, keterampilan, kreativitas, dan solidaritas. Ketika desa berani mengolah potensi itu, maka koperasi tak hanya menjadi institusi ekonomi, melainkan sumber harapan baru.
Pada titik inilah kesadaran hukum dan kesadaran ekonomi bertemu. Desa tidak hanya dituntut pintar mengelola uang, tetapi juga bijak menjaga moralitas. Potensi desa sejatinya adalah kekuatan moral masyarakatnya. Dan koperasi hanya bisa besar bila ditopang kejujuran kolektif.