Sebagai pendamping desa, kami menyaksikan langsung betapa jauhnya wacana rumah subsidi dari kehidupan masyarakat desa. Rumah subsidi seolah hanya dirancang untuk masyarakat kota, terutama pekerja formal berpenghasilan rendah di kawasan industri atau pinggiran urban.
Sementara di desa, kebutuhan akan rumah layak huni tidak kalah penting. Banyak pasangan muda yang ingin mandiri, tapi belum mampu membangun rumah sendiri. Mereka tak punya slip gaji, namun bukan berarti tak mampu mencicil. Mereka hidup dari upah harian, hasil panen, atau jual beli kecil-kecilan.
Program pemerintah seperti Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) selama ini hanya menyentuh rumah-rumah tidak layak huni. Program itu penting, tapi tidak cukup. Sebab generasi baru di desa yang belum punya rumah sama sekali butuh akses terhadap rumah yang bisa mereka miliki sendiri.
Ekspektasi kami sebagai pendamping desa terhadap rumah subsidi sangat sederhana: program ini harus hadir di desa, bukan hanya di kota atau di pinggir kota. Rumah subsidi laiknya harus bisa diakses oleh mereka yang lahannya tersedia tapi tak punya cukup dana untuk membangun, dan sistem cicilannya menyesuaikan dengan logika ekonomi desa.
Cicilan Ringan atau Tanah Sendiri: Desa Butuh Skema Khusus
Pemerintah melalui Kementerian PKP merencanakan rumah subsidi dengan ukuran 18 meter persegi di atas lahan 25 meter persegi, dengan cicilan sekitar Rp 600 ribu per bulan. Bagi desa, tawaran ini akan terdengar masuk akal bila disesuaikan dengan realitas lokal.
Di desa, sebagian besar keluarga memiliki tanah walau sempit. Daripada pemerintah membeli lahan jauh di pinggir kota, mengapa tidak mengadopsi skema subsidi berbasis lahan warga? Pemerintah cukup membangunkan unit rumah standar yang layak, lalu warga mencicilnya sesuai kemampuan.
Ekspektasi pendamping desa terhadap rumah subsidi tidak sekadar soal ukuran dan harga. Lebih dari itu, bagaimana rumah subsidi bisa mengadopsi pendekatan yang partisipatif dan memberdayakan, misalnya melibatkan tukang lokal, menggunakan material setempat, dan dikerjakan dengan sistem padat karya tunai desa (PKTD).
Selain itu, skema pembiayaan harus lentur. Jangan meniru bank konvensional. Warga desa bisa mencicil per musim panen, bukan per bulan. Bisa juga lewat skema gotong royong berbasis kelompok seperti simpan pinjam, koperasi desa, atau dukungan BUMDes maupun koperasi desa.
Jika hal ini diterapkan, maka rumah subsidi tak hanya hadir sebagai hunian, tetapi juga menjadi alat pembangunan ekonomi lokal yang berkeadilan dan kontekstual.
Rumah Layak, Bukan Sekadar Murah
Di banyak tempat, kualitas bangunan rumah subsidi menjadi kekhawatiran utama. Pendamping desa sering kali mendapat keluhan dari warga yang mengikuti program perumahan, terutama soal tembok yang mudah retak, lantai yang mengelupas, hingga saluran air yang tidak berfungsi.