Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Impian Rumah Milik Sendiri: Antara Warisan, Usaha, dan Doa di Tengah Realitas Milenial

11 Juni 2025   06:24 Diperbarui: 12 Juni 2025   08:30 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendambakan rumah layak huni (Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/05/mendambakan-rumah-layak-huni)

Bagi masyarakat desa, impian memiliki rumah sering kali berawal dari dua jalur: warisan keluarga atau hasil dari kerja keras pribadi. Di banyak desa di Pulau Lombok, rumah diperoleh dari orang tua dalam bentuk tanah atau bangunan lama yang diwariskan secara turun-temurun kepada anak-anaknya.

Jalur lainnya, yang lebih umum ditempuh generasi milenial desa, adalah bekerja keras untuk membangunnya sendiri. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh migran di luar negeri, terutama Malaysia, Arab Saudi, dan Korea Selatan, untuk mengumpulkan modal.

Pilihan menjadi buruh migran ini bukan tanpa alasan. Menurut Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith dalam bukunya Rural Development (2011), migrasi sering kali menjadi strategi utama penduduk desa dalam mengatasi keterbatasan ekonomi dan akses terhadap infrastruktur yang tidak merata di wilayah pedesaan.

Namun ironisnya, niat awal bekerja ke luar negeri sering kali bukan untuk modal usaha atau investasi produktif. Sebaliknya, tujuannya lebih pada membangun rumah dan membeli lahan pekarangan. Rumah menjadi simbol pencapaian dan harga diri, seperti diuraikan Pierre Bourdieu dalam Outline of a Theory of Practice (1977), bahwa rumah memproduksi habitus baru sebagai tanda keberhasilan lokal.

Hitungan Warige dan Spirit Membangun Rumah

Salah satu praktik kultural yang masih dipertahankan di banyak desa di Lombok adalah menggunakan warige atau palelintangan Sasak dalam proses membangun rumah. Warige bukan sekadar hitungan hari baik, melainkan sistem kosmologi yang mempertimbangkan arah bangunan, dimensi fondasi, dan waktu peletakan batu pertama. Orang yang dianggap ahli dalam ini biasa disebut sebagai "tuan warige" atau guru adat.

Praktik ini terekam dalam penelitian I Putu Yoga Satyadhi Mahardika dkk (2022) dalam artikel Pengaruh Palelintangan Sasak dalam Kehidupan Bermasyarakat, yang menyebut bahwa warige adalah bentuk astronomi tradisional Sasak yang diwariskan secara turun-temurun. Warige dianggap sebagai panduan untuk menciptakan harmoni antara manusia, rumah, dan alam semesta.

Dalam pandangan Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960), praktik seperti ini tidak bisa hanya dilihat sebagai takhayul, tetapi lebih pada upaya menanamkan keyakinan bahwa membangun rumah harus dimulai dari keselarasan spiritual dan sosial. Dengan keyakinan ini, masyarakat percaya bahwa setelah fondasi rumah dibangun dengan hitungan yang benar, rezeki dan dana pembangunan lainnya akan datang sendiri.

Hal ini juga memperlihatkan bagaimana sistem kepercayaan lokal masih relevan dalam pembangunan modern. Warige bukan hanya soal tradisi, tapi menjadi bagian dari strategi mental dan spiritual untuk menghadapi keterbatasan sumber daya.

Usaha Kecil, Gaji Terbatas, dan Doa Orang Tua

Menariknya, tidak semua orang membangun rumah melalui jalur migrasi. Saya sendiri memulai pembangunan rumah saat bekerja sebagai guru swasta di sebuah pesantren dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup satu bulan dan mencicil motor. Tetapi saya memegang kuat satu pelajaran dari orang tua: mulailah dari pondasi, sekecil apapun dana yang dimiliki.

Saya berkonsultasi dengan orang yang paham warige, menentukan hari baik, arah bangunan, dan letak sumur. Setelahnya, saya pasrahkan sisanya kepada Tuhan, dengan satu pegangan yang tidak pernah saya tinggalkan: doa dari kedua orang tua. Dalam banyak tradisi, doa orang tua memiliki kekuatan yang luar biasa, bukan sekadar secara spiritual, tapi juga membentuk keyakinan dan ketekunan untuk terus melanjutkan pembangunan.

Doa dan dukungan moral ini menjadi semacam kapital simbolik, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai modal kultural yang menentukan keberhasilan seseorang dalam meraih posisi sosial tertentu. Dalam konteks pembangunan rumah, modal ini bukan dalam bentuk uang, melainkan dorongan batin untuk tidak menyerah.

Tak jarang, dana pembangunan rumah datang dari arah yang tidak terduga. Hal ini memberi makna baru pada pepatah lama di kalangan orang desa, bahwa ketika niat membangun rumah sudah kuat dan dilakukan dengan adab serta hitungan yang tepat, maka rumah itu akan jadi.

Apakah Milenial Desa Harus Menyerah?

Di tengah harga properti yang melonjak dan biaya hidup yang terus meningkat, banyak milenial—baik di kota maupun di desa—mulai merasa bahwa memiliki rumah hanyalah ilusi. Sebuah studi oleh Cloke, Milbourne & Widdowfield (2000) dalam jurnal Environment and Planning A menunjukkan bahwa aspirasi perumahan kaum muda di daerah pedesaan sering terbentur pada keterbatasan akses terhadap lahan, kredit, dan pekerjaan tetap.

Namun, bukan berarti jalan itu sepenuhnya buntu. Masih ada strategi finansial yang bisa dijalankan, misalnya membangun rumah secara bertahap, menghindari utang besar di awal, dan mengandalkan dukungan sosial dari komunitas serta keluarga. Model seperti ini disebut oleh John F. C. Turner dalam Freedom to Build (1972) sebagai "incremental housing" yang memungkinkan keluarga miskin tetap memiliki kontrol atas proses pembangunan rumah mereka.

Langkah ini sudah lama diterapkan di banyak komunitas global, termasuk di desa-desa Indonesia. Kuncinya adalah memulai dengan apa yang ada, bukan menunggu segalanya sempurna. Semangat gotong royong dan solidaritas lokal menjadi pendorong utama dalam menyelesaikan pembangunan rumah.

Dengan demikian, impian memiliki rumah tidak perlu direvisi, melainkan disesuaikan cara dan targetnya. Rumah tetap menjadi simbol kemerdekaan pribadi, dan pencapaiannya bisa datang dengan cara-cara yang tidak selalu linier atau instan.

Rumah Sebagai Ruang Perjuangan dan Harapan

Pada akhirnya, rumah bukan hanya tempat tinggal. Ia adalah simbol perjuangan, doa, dan harapan. Membangun rumah bukan hanya tentang kemampuan finansial, tetapi juga ketekunan dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan. Bagi masyarakat desa, rumah adalah capaian hidup.

Di tengah tekanan ekonomi, penting bagi milenial untuk tetap memelihara impian memiliki rumah. Jalan yang ditempuh bisa berbeda-beda, tapi nilai yang menyatukan tetap sama: kerja keras, kesabaran, dan restu dari orang tua. Ini adalah modal yang sering kali diremehkan, padahal sangat menentukan.

Dalam konteks masyarakat adat seperti Sasak, rumah juga merupakan bagian dari struktur budaya dan spiritual. Pembangunannya melibatkan banyak nilai lokal, mulai dari warige, gotong royong, hingga doa bersama. Nilai-nilai ini justru menjadi kekuatan ketika sistem formal sulit dijangkau.

Sebagaimana ditulis Mongabay Indonesia (2025), warige bukan sekadar kearifan lokal, melainkan bagian dari pengetahuan kosmik masyarakat adat yang selaras dengan etika lingkungan dan spiritualitas. Ini memperlihatkan bahwa impian membangun rumah masih bisa dicapai dengan cara yang membumi dan bermartabat.

Jadi, impian memiliki rumah bukanlah ilusi. Ia adalah perjuangan yang sah, dan setiap orang berhak atas ruang untuk hidup dan bermimpi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun