Pak Ismail duduk di beranda rumah panggungnya, memandangi koper besar yang telah dikemas sejak sebulan lalu. Matanya sembab. Tak ada kata-kata, hanya napas yang panjang dan dalam. Ia bukan orang kaya. Petani tembakau yang saban tahun berjibaku dengan musim dan cuaca. Namun sejak 2013, ia mendaftar haji. Uangnya dikumpulkan sedikit demi sedikit, dari hasil menjual hasil panen.
Setiap tahun, ia sabar menanti. Bertanya-tanya, kapan panggilan itu datang. Di kampung, haji adalah prestasi spiritual dan sosial. Gelar yang disandingkan dengan hormat, simbol kebanggaan di tengah keterbatasan. Maka ketika pemberitahuan datang dari Kantor Urusan Agama bahwa namanya masuk daftar berangkat 2024, Pak Ismail seperti diberi kehidupan baru. Wajahnya berseri, langkahnya ringan, senyumnya tak henti.
Ia urus semua persyaratan. Bolak-balik ke kota, tes kesehatan, manasik. Biaya tambahan dilunasi. Bahkan ia belajar doa-doa dan praktik thawaf dengan penuh semangat. Mimpi itu nyaris menjadi nyata. Tapi takdir berkata lain. Di pekan menjelang keberangkatan, namanya mendadak hilang dari daftar. Tidak ada penjelasan rinci. Tidak ada surat resmi. Hanya lisan dari petugas: "Tidak masuk kuota tahun ini."
Air matanya jatuh, pelan dan panjang. Ia tidak marah, hanya terdiam. Dalam diamnya, ada luka yang dalam. Ia tidak menyalahkan siapa pun, hanya tidak mengerti: mengapa janji itu tak ditepati?
Kami, tetangga dan warga sekampung, turut bersedih. Sebab Pak Ismail bukan sekadar nama. Ia simbol harapan bahwa orang biasa pun bisa menunaikan rukun Islam kelima tanpa harus jadi siapa-siapa. Namun kenyataan tak seindah harapan. Tahun ini, beberapa orang yang tidak pernah kami lihat ikut manasik, justru berangkat lebih dulu. Mereka disebut "petugas" atau "pendamping." Tapi siapa yang mereka dampingi?
Di warung kopi, perbincangan soal keadilan dalam haji jadi perbincangan harian. Ada rasa getir yang sulit ditutupi. Sistem yang katanya transparan, justru membuka luka-luka ketidakpercayaan di akar rumput. Bagi kami, keadilan bukan hanya soal hukum. Tapi soal rasa. Soal hak spiritual yang mestinya dimiliki setiap warga, tanpa melihat jabatan, kedekatan, atau status sosial. Ibadah tak boleh dikapitalisasi oleh kuasa.
Kami baca di surat kabar, antrean haji di NTB bisa sampai 34 tahun. Sebuah angka yang bagi sebagian orang, berarti takkan pernah bisa ke tanah suci. Sementara sebagian lain, bisa bolak-balik dalam lima tahun. Ada yang menyebut itu hak istimewa. Tapi bukankah keistimewaan itu melukai keadilan? Bukankah tugas negara justru memastikan semua warga punya peluang yang sama untuk menjalankan keyakinannya?
Pak Ismail tidak mengeluh. Tapi di senyumnya, ada pertanyaan. Apakah agama kini juga butuh relasi dan akses khusus? Apakah ibadah haji menjadi barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh jaringan dan kekuasaan?
Cerita Pak Ismail adalah cerita banyak warga desa. Mereka yang jauh dari pusat informasi, tapi dekat dengan doa. Mereka yang tak punya orang dalam, tapi punya keyakinan yang tak tergoyahkan. Dalam kajian sosiologi agama, seperti yang ditulis Clifford Geertz dalam Islam Observed (University of Chicago Press, 1968), haji bukan hanya perjalanan spiritual, tapi juga simbol status sosial di masyarakat.
Namun dalam konteks kita hari ini, simbol itu rentan direduksi jadi tiket eksklusif. Kekuatan iman dan kesabaran tak cukup jika tak dibarengi dengan jaringan sosial dan pengaruh politik. Maka wajar jika warga seperti Pak Ismail merasa tak berdaya. Mereka sudah menabung harapan, tapi sistem justru menghapus nama mereka tanpa alasan. Sementara orang lain dengan mudah naik pesawat, bersorak dari bandara.