Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyap di Sore Hari

24 April 2025   22:40 Diperbarui: 24 April 2025   22:40 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Desa Sukawening, waktu berjalan seperti air yang mengalir di parit kecil—tenang, lambat, dan jarang terdengar. Tak ada yang luar biasa di sana. Pagi-pagi orang ke sawah, siang terik tidur sejenak di bale-bale bambu, dan malam dihabiskan dengan cerita yang sudah berkali-kali dikisahkan di pos ronda.

Di pojok desa, di sebuah rumah kecil beratap seng, tinggal seorang pria bernama Pak Warta. Sudah lama ia tidak ke ladang. Kakinya lumpuh setelah jatuh dari pohon kelapa lima tahun lalu. Sejak itu, ia lebih banyak duduk di beranda, mengamati desa seperti seorang kakek tua mengamati anak-anak bermain dari balik kaca jendela.

Anak-anak memang sering lewat di depan rumahnya. Mereka suka mengejek atau sekadar memanggil namanya keras-keras: “Pak Warta! Pak Warta duduk terus!” Tapi Pak Warta tak marah. Ia hanya tersenyum, kadang mengangkat tangan pelan sebagai balasan.

Yang sering datang menemuinya hanyalah Sarmi, anak perempuan kelas lima SD. Sarmi membawa kabar dari luar: harga cabai naik, Pak Lurah bertengkar dengan Ketua RT, atau Ibu Guru pingsan karena darah rendah. Bagi Pak Warta, cerita-cerita itu seperti angin sore yang menghembuskan kehidupan ke dalam hari-harinya yang panjang dan sepi.

Suatu sore, setelah hujan gerimis, Sarmi datang lagi. Kali ini ia membawa dua jagung rebus. “Bapak saya bilang ini jagung pertama musim ini. Saya ambil dua buat Bapak.”

Pak Warta menerima dengan tangan bergetar, seolah jagung itu bukan makanan, tapi surat cinta dari masa silam.

“Kamu tahu, Sarmi,” katanya perlahan sambil menatap langit yang berwarna tembaga, “dulu saya juga seperti kamu. Lari-lari di jalan ini, main layang-layang di dekat sungai, dan berjanji tak akan pernah tua.”

Sarmi tertawa, tidak sepenuhnya mengerti. Tapi ia duduk di samping Pak Warta dan memakan jagungnya perlahan.

Angin sore menyusup di antara celah dinding rumah, membawa bau tanah basah dan suara ayam yang mulai turun dari pohon. Desa tetap diam. Tak ada sesuatu yang baru, tak ada tragedi, tak ada kejutan.

Tapi di sanalah keindahannya. Dalam diam yang tidak mencolok, dalam kehidupan yang tak menuntut drama, hanya aliran waktu yang lembut dan manusia-manusia yang mencoba tetap hangat di tengah kesederhanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun