Inpres No. 9 Tahun 2025 yang diluncurkan 27 Maret kemarin, menyerukan pembentukan Koperasi Merah Putih di 80.000 desa. Ambisi besar ini layak diapresiasi, tetapi juga harus diuji: seberapa siap ekosistem desa menerjemahkan ide menjadi aksi nyata? Dana Desa menjadi tulang punggung, namun sejarah menunjukkan kompleksitasnya.
Bukan angka kecil. Bukan wacana ringan. Koperasi Merah Putih menjadi proyek ekonomi rakyat yang paling masif sejak Dana Desa diluncurkan sembilan tahun silam. Namun, skala besar sering kali datang bersama kekhawatiran yang sepadan.
Gagasan membangun koperasi di setiap desa sejatinya bukan hal baru. Koperasi telah hidup sejak era kolonial, dan diperkuat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Namun, sejarah panjang koperasi juga menyimpan luka: birokratisasi, politisasi, dan pembusukan dari dalam.
Dalam banyak kasus, koperasi mati bukan karena warga tak butuh. Ia mati karena dikelola tanpa nilai-nilai dasar koperasi: partisipasi, transparansi, dan keswadayaan. Banyak koperasi tinggal papan nama. Laporan rutin tanpa kegiatan. Pengurus tak dipilih, melainkan ditunjuk.
Kini, Inpres 9/2025 seolah ingin menghidupkan kembali ruh koperasi dengan cara injeksi besar dari atas. Negara turun tangan, bukan hanya memberi insentif, tetapi mengarahkan bentuk, nama, bahkan sumber dananya. Pertanyaannya: apakah ini kebangkitan atau pengulangan sejarah?
Dana Desa yang digelontorkan ke koperasi adalah ujian bagi rasionalitas pembangunan. Jika koperasi dibentuk hanya demi menggugurkan kewajiban administratif, maka bukan pemberdayaan yang lahir, melainkan proyek semu. Dan proyek semu adalah racun pembangunan.
Di sinilah posisi pendamping desa diuji. Mereka menjadi garda terdepan pelaksanaan dan pengawasan program. Pendamping bukan hanya tukang input data. Mereka adalah fasilitator pembangunan partisipatif yang mestinya menjembatani niat baik pusat dan kebutuhan nyata warga.
Namun, kenyataan di lapangan tak semudah yang dibayangkan. Banyak pendamping desa menghadapi beban kerja tak sebanding. Di beberapa wilayah, satu pendamping harus membina lima hingga tujuh desa sekaligus. (Rizky, 2021, Jurnal Pembangunan Desa dan Kawasan)
Akibatnya, pembentukan koperasi yang seharusnya melewati proses musyawarah mendalam, tereduksi menjadi kegiatan kejar target. Surat-surat disiapkan tergesa. Pengurus ditentukan tanpa pemilihan. Anggaran dipatok duluan, diskusi menyusul kemudian.
Padahal, koperasi bukan instrumen politik anggaran. Ia adalah organisme sosial-ekonomi yang hanya bisa hidup dengan kepercayaan. Tanpa partisipasi warga, koperasi akan menjadi kendaraan elite lokal—sekadar perpanjangan tangan kuasa di desa.