Di tanah Sasak, ungkapan “Dong Ayok!” menggema sebagai seruan akrab yang mengundang partisipasi dalam kebersamaan. Berbeda dengan “Ayok Dong!” yang umum digunakan, “Dong Ayok!” mencerminkan kehangatan khas masyarakat Lombok dalam mengajak sesama. Ungkapan ini menjadi cerminan budaya lokal yang sarat akan nilai-nilai kekeluargaan dan keramahan.
Lima hari lagi, tepatnya 7 April 2025, masyarakat Sasak akan merayakan Lebaran Topat di Pantai Duduk, Lombok Barat. Tradisi ini jatuh pada 8 Syawal 1446 H, tepat seminggu setelah Idul Fitri, sebagai wujud syukur setelah menjalankan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Ketupat, atau “topat” dalam bahasa Sasak, menjadi simbol utama dalam perayaan ini. Makanan khas ini melambangkan kesucian, keberkahan, dan kebersamaan. Tidak hanya disantap bersama, ketupat juga menjadi bagian dari berbagai ritual, termasuk Perang Topat yang menggambarkan semangat persaudaraan masyarakat Lombok.
Lebaran Topat bukan sekadar pesta kuliner. Ia adalah perpaduan unik antara nilai Islam dan budaya lokal yang diwariskan turun-temurun. Masyarakat berziarah ke makam leluhur, berdoa bersama, lalu berkumpul di pantai menikmati hidangan ketupat dengan aneka lauk sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Tradisi ini memperkuat silaturahmi sekaligus menghidupkan warisan leluhur. Kebersamaan yang terjalin dalam momen ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Sasak yang tetap mempertahankan adat di tengah arus modernisasi. Lebaran Topat juga menjadi ajang refleksi spiritual yang memperkaya kehidupan sosial.
Yang menarik, perayaan ini juga diwarnai oleh Perang Topat—tradisi unik di mana peserta saling melempar ketupat sebagai bentuk kegembiraan. Ritual ini bukan sekadar permainan, melainkan simbol kebersamaan yang telah ada sejak ratusan tahun lalu dan tetap lestari hingga saat ini.
Perang Topat bukan sekadar tradisi turun-temurun, tetapi juga bagian dari sejarah yang terus diwariskan di tengah masyarakat. Ritual ini menjadi wujud nyata bagaimana budaya dan keyakinan yang berbeda dapat berjalan berdampingan tanpa menghilangkan identitas masing-masing.
Keharmonisan tampak saat umat Islam dan Hindu melaksanakan ritual mereka. Umat Islam merayakan akhir puasa Syawal sekaligus menghormati Raden Sumilir, penyebar Islam di Lombok (Budiwanti, 2020). Sementara itu, umat Hindu menjadikan acara ini sebagai bagian dari upacara Pujawali yang sakral.
Perpaduan tradisi ini mencerminkan toleransi yang kuat, menjadikan Lombok sebagai contoh keberagaman dan persaudaraan. Menurut Budiwanti (2000), Perang Topat mengajarkan bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi dirayakan dalam kebersamaan yang memperkuat harmoni antarumat beragama, khususnya di masyarakat Lombok.
Seperti ditulis Latif (2015), tradisi semacam ini menunjukkan bagaimana agama dan budaya bisa berdialog tanpa konflik. Dialog tersebut terwujud dalam perayaan bersama, yang menunjukkan bahwa keberagaman budaya dan keyakinan dapat hidup berdampingan dalam satu ruang sosial yang harmonis.