Senja di desa selalu punya pesonanya sendiri. Langit yang perlahan meredup, angin sore yang sejuk, dan suara pengajian dari mushalla yang menggema di udara. Ramadan menambah nuansa syahdu. Warga tidak terburu-buru, semua berjalan dalam ritme yang pelan, menikmati sore yang damai.
Setiap sore, selepas mendampingi desa dengan berbagai agenda harian, saya ikut larut dalam kebiasaan warga. Ngabuburit bukan sekadar menunggu waktu berbuka. Ini adalah perayaan kecil yang diisi dengan kesederhanaan dan kebersamaan. Tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada kesibukan yang tergesa-gesa. Hanya ada suasana damai yang mengalir alami.
Ngabuburit di desa bukan sekadar menunggu waktu berbuka dengan aktivitas tertentu. Banyak yang memilih berjalan-jalan santai mengitari desa, sekadar menyapa tetangga, melihat kebun, atau duduk di beranda rumah sambil berbincang ringan. Tidak ada mall, tidak ada hiruk-pikuk kendaraan, hanya interaksi sederhana yang menghangatkan.
Di dekat mushalla, anak-anak bermain riang. Ada yang berlarian mengejar teman, ada yang naik sepeda keliling desa. Kadang terdengar suara teriakan mereka, disusul tawa yang lepas. Ramadan tidak membuat mereka kehilangan energi, justru semakin semangat menikmati sore menjelang berbuka.
Di rumah-rumah, ibu-ibu mulai sibuk di dapur. Ada yang menggoreng pisang, ada yang membuat kolak. Bau harum santan dan gula merah tercium dari dapur, bercampur dengan aroma teh manis yang baru diseduh. Bagi sebagian orang, menyiapkan takjil adalah bagian dari ngabuburit yang menyenangkan.
Sebagian remaja memilih duduk di tepi sawah, menikmati angin sore sambil ngobrol. Ada yang berbicara tentang rencana kuliah, ada yang membahas pekerjaan, ada juga yang hanya diam menikmati pemandangan hijau yang membentang. Ngabuburit sederhana, tanpa perlu keramaian atau gadget.
Bagi mereka yang lebih aktif, ngabuburit bisa berarti membantu warga lain. Ada yang ke masjid untuk menyiapkan tempat berbuka, ada yang ikut memasang lampu-lampu kecil di mushalla. Ramadan membawa kebiasaan gotong royong yang lebih terasa di desa dibandingkan di kota.
Sebagian bapak-bapak memilih menghabiskan waktu di kebun atau pekarangan. Memeriksa tanaman, menyiram bunga, atau sekadar membersihkan halaman rumah. Sore adalah waktu yang tepat untuk bersantai setelah bekerja seharian, sambil menunggu azan Maghrib berkumandang.
Beberapa warga berjalan santai ke warung untuk membeli takjil. Tidak ada antrian panjang seperti di kota. Pilihannya pun sederhana: gorengan, es kelapa muda, atau bubur sumsum. Kadang, mereka membawa lebih untuk berbagi dengan tetangga atau mushalla.
Di rumah-rumah tertentu, ada tradisi berbagi takjil ke tetangga. Tidak perlu sesuatu yang mewah, sekadar pisang goreng atau segelas es teh manis. Tradisi ini sudah berlangsung lama, bukan hanya karena Ramadan, tapi karena kebiasaan desa yang masih kuat dalam berbagi.
Saat langit mulai gelap, beberapa warga menggelar tikar di teras rumah. Mereka duduk bersama keluarga, menunggu waktu berbuka. Obrolan ringan mengalir, anak-anak mulai gelisah, sesekali menanyakan waktu berbuka. Semua menikmati detik-detik sebelum azan dengan tenang.
Ketika azan Maghrib berkumandang, semua aktivitas berhenti. Tidak ada yang tergesa-gesa. Segelas air putih atau teh manis jadi pilihan pertama. Setelah itu, barulah menyantap gorengan atau takjil lain yang tersedia. Semua sederhana, tapi terasa lebih nikmat karena kebersamaan.
Usai berbuka, sebagian orang memilih langsung salat Maghrib di mushalla. Ada juga yang tetap di rumah, melanjutkan makan sebelum bersiap ke masjid untuk tarawih. Tidak ada paksaan, semua berjalan dengan santai, sesuai kebiasaan masing-masing.
Bagi anak-anak, Ramadan berarti waktu bermain lebih panjang setelah berbuka. Mereka berlarian di halaman mushalla, membawa senter kecil atau bermain petak umpet. Meski orang tua mengingatkan untuk segera bersiap tarawih, mereka tetap mencuri waktu untuk bermain.
Sementara itu, di rumah-rumah, ibu-ibu mulai mencuci peralatan makan, menyiapkan air untuk minum setelah tarawih. Suasana desa tetap tenang, tidak banyak suara kendaraan seperti di kota. Semua berjalan alami, dalam ritme yang tidak terburu-buru.
Setelah tarawih, desa kembali hening. Hanya suara jangkrik dan sesekali suara obrolan di sudut-sudut jalan. Sebagian orang memilih berbincang di teras rumah, menikmati teh hangat sambil berbagi cerita sebelum tidur. Ramadan di desa memang tidak ramai, tapi selalu menenangkan.
Ngabuburit di desa bukan tentang mencari hiburan, melainkan menikmati waktu dengan cara yang lebih santai dan alami. Tidak ada kemewahan, tidak ada kesibukan yang berlebihan. Hanya ada kebersamaan yang terasa lebih erat, dalam kesederhanaan yang hangat.
Ramadan di desa tidak mengajarkan kemeriahan yang berlebihan, tetapi mengajarkan arti ketenangan dan kebersamaan. Ngabuburit bukan hanya soal menunggu berbuka, tetapi juga tentang menikmati momen kecil yang sering terlewatkan. Dalam kesederhanaan, ada kebahagiaan yang lebih nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI