Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ngabuburit di Desa: Jalan-jalan Sambil Saling Sapa

8 Maret 2025   04:12 Diperbarui: 8 Maret 2025   04:12 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: travel.kompas.com/read/2021/06/09/203600727/)

Saat langit mulai gelap, beberapa warga menggelar tikar di teras rumah. Mereka duduk bersama keluarga, menunggu waktu berbuka. Obrolan ringan mengalir, anak-anak mulai gelisah, sesekali menanyakan waktu berbuka. Semua menikmati detik-detik sebelum azan dengan tenang.

Ketika azan Maghrib berkumandang, semua aktivitas berhenti. Tidak ada yang tergesa-gesa. Segelas air putih atau teh manis jadi pilihan pertama. Setelah itu, barulah menyantap gorengan atau takjil lain yang tersedia. Semua sederhana, tapi terasa lebih nikmat karena kebersamaan.

Usai berbuka, sebagian orang memilih langsung salat Maghrib di mushalla. Ada juga yang tetap di rumah, melanjutkan makan sebelum bersiap ke masjid untuk tarawih. Tidak ada paksaan, semua berjalan dengan santai, sesuai kebiasaan masing-masing.

Bagi anak-anak, Ramadan berarti waktu bermain lebih panjang setelah berbuka. Mereka berlarian di halaman mushalla, membawa senter kecil atau bermain petak umpet. Meski orang tua mengingatkan untuk segera bersiap tarawih, mereka tetap mencuri waktu untuk bermain.

Sementara itu, di rumah-rumah, ibu-ibu mulai mencuci peralatan makan, menyiapkan air untuk minum setelah tarawih. Suasana desa tetap tenang, tidak banyak suara kendaraan seperti di kota. Semua berjalan alami, dalam ritme yang tidak terburu-buru.

Setelah tarawih, desa kembali hening. Hanya suara jangkrik dan sesekali suara obrolan di sudut-sudut jalan. Sebagian orang memilih berbincang di teras rumah, menikmati teh hangat sambil berbagi cerita sebelum tidur. Ramadan di desa memang tidak ramai, tapi selalu menenangkan.

Ngabuburit di desa bukan tentang mencari hiburan, melainkan menikmati waktu dengan cara yang lebih santai dan alami. Tidak ada kemewahan, tidak ada kesibukan yang berlebihan. Hanya ada kebersamaan yang terasa lebih erat, dalam kesederhanaan yang hangat.

Ramadan di desa tidak mengajarkan kemeriahan yang berlebihan, tetapi mengajarkan arti ketenangan dan kebersamaan. Ngabuburit bukan hanya soal menunggu berbuka, tetapi juga tentang menikmati momen kecil yang sering terlewatkan. Dalam kesederhanaan, ada kebahagiaan yang lebih nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun