Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Geger Sahur di Pagi Hari

4 Maret 2025   03:45 Diperbarui: 4 Maret 2025   03:45 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: kompas.com/food/read/2024/03/13/094025675/)

Dulu, sebelum era ponsel pintar dan alarm digital, kehidupan berjalan lebih sederhana. Jam dinding di rumah menjadi rujukan utama untuk mengetahui waktu. Sayangnya, jam dinding juga bisa mengkhianati. Seperti yang terjadi pada sebuah pagi di bulan Ramadan saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Malam sebelumnya, seperti biasa, ibu menyiapkan makanan sahur. Semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Tidur lebih awal, bangun di sepertiga malam, lalu makan bersama sebelum azan subuh berkumandang. Rutinitas yang sudah terpatri di benak sejak kecil.

Namun, ada yang tak biasa saat itu. Ketika terbangun, rumah masih sunyi. Ayah dan ibu pun tampak tenang, seolah waktu sahur masih panjang. Mata yang masih mengantuk melirik jam dinding di ruang tengah. Jarum pendek menunjukkan angka tiga, jarum panjang di angka lima. Masih ada waktu, pikirku.

Tanpa curiga, kami makan sahur dengan santai. Nasi hangat, tempe goreng, dan sayur bening tersaji di meja. Suasana terasa nyaman. Tak ada tanda-tanda kepanikan. Semua percaya pada jam dinding yang tergantung di ruang tengah itu.

Si bungsu yang duduk di ujung meja tampak gelisah. Sesekali ia melirik ke jendela. Tangannya meraih sendok, tapi pikirannya tampak melayang. Lalu, entah apa yang terlintas di benaknya, ia pun beranjak. Langkah kecilnya menuju ke jendela ruang makan. Tangannya perlahan membuka tirai.

Seketika ruangan berubah hening. Cahaya matahari yang begitu terang menembus kaca jendela. Langit biru bersih, tanda pagi telah menyingsing. Tak ada lagi jejak malam. Mata semua orang membelalak. Sendok yang baru saja hendak menyuap nasi terhenti di udara.

Sejurus kemudian, keheningan pecah oleh gelak tawa. Suasana yang tadi khidmat mendadak berubah menjadi kekacauan kecil. Ayah memandang jam dinding dengan raut tak percaya. Ibu menepuk dahi sambil tergelak. Si bungsu, yang jadi penyelamat pagi itu, nyengir bangga.

Jam di ruang tengah ternyata mati. Sejak kapan? Tak ada yang tahu. Tak ada yang sadar. Tak ada yang curiga. Kami semua telah tertipu oleh benda mati yang menggantung di dinding dengan angkuhnya.

Setelah itu, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Sahur yang diniatkan justru terjadi di pagi hari. Puasa tetap dilanjutkan, meski dengan hati penuh tawa. Kejadian itu pun jadi cerita yang diulang-ulang setiap Ramadan tiba.

Di masa kini, kejadian seperti itu nyaris mustahil terjadi. Jam tak lagi hanya bergantung di dinding. Ponsel pintar telah mengambil alih tugasnya. Alarm digital selalu siaga. Aplikasi pengingat waktu sahur bisa diatur sedemikian rupa. Kemungkinan salah sahur karena jam mati hampir tak ada.

Namun, di balik kemudahan teknologi, ada satu hal yang terasa hilang. Momen-momen kocak seperti kejadian sahur di pagi hari itu semakin langka. Segalanya terlalu presisi, terlalu terjadwal. Ruang untuk kejutan dan kelucuan semakin sempit.

Mungkin, ada baiknya sesekali membiarkan diri tertipu waktu. Setidaknya, agar ada cerita yang bisa dikenang bertahun-tahun kemudian. Seperti tawa yang masih bergema setiap kali kisah sahur kesiangan ini kembali diceritakan di meja makan keluarga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun