Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadhan dan Keputusan Sederhana: Membeli Takjil di Tetangga

3 Maret 2025   16:25 Diperbarui: 3 Maret 2025   16:25 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membeli takjil di tetangga (Sumber: Dokpri)

Ramadhan tahun ini, saya memilih membeli takjil di rumah tetangga saja. Tidak ke pusat kuliner atau ke tempat lain. Keputusan sederhana yang terasa lebih bermakna ketika tahu cerita di baliknya. 

Bu Sum, sebut saja begitu, adalah seorang guru madrasah. Ia mengajar di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs) di daerah kami. Gajinya jauh dari layak. Kurang dari seperempat UMR. Saya tahu persis besaran itu karena pernah mengajar di tempat yang sama.

Tahun ini terasa lebih berat baginya. Insentif baginya sebagai guru non-sertifikasi dihentikan. Itu berarti penghasilan Bu Sum berkurang Rp 250 ribu setiap bulan. Jumlah yang mungkin kecil bagi sebagian orang, tetapi sangat berarti bagi mereka yang hidup dari gaji pas-pasan.

Kebijakan ini tak datang dari ruang kosong. Pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto melakukan efisiensi besar-besaran di berbagai kementerian dan lembaga. Imbasnya, anggaran untuk pendidikan, khususnya di sektor madrasah, ikut terkoreksi.

Bagi guru seperti Bu Sum, keputusan ini berat. Sebagian besar guru madrasah di Indonesia mengandalkan insentif ini sebagai tambahan penghasilan. Tanpa itu, mereka harus mencari cara lain untuk bertahan. Ada yang menjual makanan, menjadi buruh tani, atau bahkan mencari pekerjaan sampingan di luar pendidikan.

Bu Sum memilih berjualan takjil. Di halaman rumahnya yang sempit, ia menata nampan kecil di berugaq-nya dengan beberapa penganan sederhana. Kolak pisang, es buah, dan gorengan. Ia tak banyak bicara, tetapi senyumnya tetap ramah ketika melayani pembeli.

Saya tahu, di balik senyumnya ada beban yang tak ringan. Ramadhan seharusnya menjadi bulan penuh keberkahan. Namun, bagi sebagian orang, bulan suci ini juga membawa tantangan tersendiri.

Saya teringat perbincangan kami beberapa waktu lalu. “Dulu, insentif itu cukup buat beli beras sebulan,” katanya lirih. Kini, tanpa tambahan itu, ia harus berpikir lebih keras. Gaji pokoknya tak cukup menutupi kebutuhan sehari-hari.

Ia bukan satu-satunya. Ribuan guru madrasah di berbagai daerah mengalami hal serupa. Mereka mengabdi di sekolah yang sering luput dari perhatian. Mengajar dengan fasilitas minim, gaji rendah, dan kini, tanpa insentif tambahan.

Banyak guru madrasah yang akhirnya mencari jalan lain untuk menyambung hidup. Ada yang mulai berjualan online, ada yang menjadi ojek daring, ada pula yang mengerjakan pekerjaan serabutan. Tak sedikit yang memilih berhenti mengajar dan mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.

Sementara itu, kondisi madrasah sendiri tidak lebih baik. Sebagian besar madrasah swasta bergantung pada SPP siswa yang sering kali tidak dibayarkan tepat waktu. Bantuan dari pemerintah pun tak selalu cukup untuk menutupi operasional.

Dalam situasi seperti ini, guru madrasah harus beradaptasi. Mereka bukan hanya mendidik, tetapi juga harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Tidak sedikit yang merasa dilema. Mereka ingin tetap mengabdi, tetapi kebutuhan hidup terus mendesak.

Pendidikan madrasah sering disebut sebagai pilar penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun, perhatian terhadap para pengajarnya masih jauh dari cukup. Mereka adalah para pendidik yang bekerja dalam diam, menjalankan tugas mencerdaskan generasi bangsa dengan segala keterbatasan.

Ketika anggaran harus dipangkas, guru-guru seperti Bu Sum yang pertama merasakan dampaknya. Tidak ada demonstrasi besar-besaran. Tidak ada headline di media nasional. Hanya keluhan pelan yang menguap begitu saja.

Keluarga Bu Sum juga merasakan beban yang sama. Anak-anak mereka pun harus terbiasa hidup dalam keterbatasan. Buku pelajaran diwariskan dari kakak ke adik, sementara jajan di sekolah menjadi kemewahan yang harus dikurangi.

Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan penuh keberkahan pun berubah menjadi tantangan besar. Harga kebutuhan pokok melonjak, sementara pemasukan justru berkurang. Tak heran jika banyak guru madrasah yang akhirnya harus berjualan kecil-kecilan untuk menyambung hidup.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka setiap kali menerima gaji yang jumlahnya tak seberapa. Mereka tetap datang ke sekolah, tetap mengajar dengan semangat, meskipun dalam hati mereka mungkin bertanya-tanya sampai kapan harus bertahan dalam kondisi seperti ini.

Saya juga teringat cerita seorang teman yang masih mengajar di madrasah. Ia pernah berkata, “Kami bukan hanya guru, tapi juga orang tua bagi anak-anak di madrasah. Kami ingin memberikan pendidikan terbaik, tapi bagaimana bisa jika kami sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan hidup kami?”

Pertanyaan itu terus terngiang di kepala saya. Jika pendidikan madrasah benar-benar dianggap penting, mengapa nasib guru-gurunya sering kali terabaikan? Mengapa mereka yang berjuang untuk mencerdaskan bangsa harus menghadapi tantangan ekonomi yang begitu berat?

Saya tak bisa berbuat banyak, selain akan terus membeli takjil di rumah Bu Sum sepanjang Ramadhan ini. Sebuah pilihan kecil yang setidaknya bisa membantu. Namun, dalam hati saya bertanya: sampai kapan guru-guru seperti Bu Sum harus berjuang sendiri? Sampai kapan mereka harus terus bertahan dengan segala keterbatasan ini?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun