Sementara itu, kondisi madrasah sendiri tidak lebih baik. Sebagian besar madrasah swasta bergantung pada SPP siswa yang sering kali tidak dibayarkan tepat waktu. Bantuan dari pemerintah pun tak selalu cukup untuk menutupi operasional.
Dalam situasi seperti ini, guru madrasah harus beradaptasi. Mereka bukan hanya mendidik, tetapi juga harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Tidak sedikit yang merasa dilema. Mereka ingin tetap mengabdi, tetapi kebutuhan hidup terus mendesak.
Pendidikan madrasah sering disebut sebagai pilar penting dalam sistem pendidikan nasional. Namun, perhatian terhadap para pengajarnya masih jauh dari cukup. Mereka adalah para pendidik yang bekerja dalam diam, menjalankan tugas mencerdaskan generasi bangsa dengan segala keterbatasan.
Ketika anggaran harus dipangkas, guru-guru seperti Bu Sum yang pertama merasakan dampaknya. Tidak ada demonstrasi besar-besaran. Tidak ada headline di media nasional. Hanya keluhan pelan yang menguap begitu saja.
Keluarga Bu Sum juga merasakan beban yang sama. Anak-anak mereka pun harus terbiasa hidup dalam keterbatasan. Buku pelajaran diwariskan dari kakak ke adik, sementara jajan di sekolah menjadi kemewahan yang harus dikurangi.
Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan penuh keberkahan pun berubah menjadi tantangan besar. Harga kebutuhan pokok melonjak, sementara pemasukan justru berkurang. Tak heran jika banyak guru madrasah yang akhirnya harus berjualan kecil-kecilan untuk menyambung hidup.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan mereka setiap kali menerima gaji yang jumlahnya tak seberapa. Mereka tetap datang ke sekolah, tetap mengajar dengan semangat, meskipun dalam hati mereka mungkin bertanya-tanya sampai kapan harus bertahan dalam kondisi seperti ini.
Saya juga teringat cerita seorang teman yang masih mengajar di madrasah. Ia pernah berkata, “Kami bukan hanya guru, tapi juga orang tua bagi anak-anak di madrasah. Kami ingin memberikan pendidikan terbaik, tapi bagaimana bisa jika kami sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan hidup kami?”
Pertanyaan itu terus terngiang di kepala saya. Jika pendidikan madrasah benar-benar dianggap penting, mengapa nasib guru-gurunya sering kali terabaikan? Mengapa mereka yang berjuang untuk mencerdaskan bangsa harus menghadapi tantangan ekonomi yang begitu berat?
Saya tak bisa berbuat banyak, selain akan terus membeli takjil di rumah Bu Sum sepanjang Ramadhan ini. Sebuah pilihan kecil yang setidaknya bisa membantu. Namun, dalam hati saya bertanya: sampai kapan guru-guru seperti Bu Sum harus berjuang sendiri? Sampai kapan mereka harus terus bertahan dengan segala keterbatasan ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI