Band punk Sukatani mendadak menjadi pusat perhatian setelah merilis lagu Bayar Bayar Bayar yang mengkritik praktik pungutan liar. Tidak lama berselang, mereka meminta maaf kepada Polri dan menarik lagu tersebut dari peredaran.Â
Permintaan maaf ini memunculkan perdebatan. Sebagian menganggap band ini lemah, sementara yang lain melihat ini sebagai strategi cerdas. Justru karena tekanan itu, pesan lagu mereka semakin lantang dan menyebar lebih luas.
Dalam perspektif dramaturgi Erving Goffman, tindakan Sukatani dapat dilihat sebagai pertunjukan di panggung depan. Mereka menampilkan kepatuhan agar terhindar dari risiko lebih besar.Â
Namun, di panggung belakang, pesan lagu mereka tetap hidup. Fenomena ini mirip dengan apa yang disebut Goffman dalam "The Presentation of Self in Everyday Life" (1959). Apa yang terlihat di permukaan sering kali berbeda dengan apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Sejarah panjang gerakan subkultur membuktikan bahwa represi justru memperkuat perlawanan. Dari era punk Inggris hingga protes sosial lainnya, semakin ditekan, semakin besar gaungnya.Â
Alex Ogg dalam No More Heroes: A Complete History of UK Punk (2006) mencatat bahwa punk berkembang karena represi dari otoritas. Ketika pemerintah menekan gerakan ini, justru lebih banyak orang tertarik dan terlibat dalam arus perlawanan tersebut.
Dalam banyak kasus, tekanan terhadap gerakan subkultur hanya mempercepat penyebaran pesan mereka. Efek Streisand, sebagaimana dikaji oleh Mike Masnick (2005) dalam Techdirt, menunjukkan bahwa upaya untuk menyensor atau membungkam sesuatu sering kali berujung pada peningkatan eksposur.Â
Lagu Bayar Bayar Bayar yang semula mungkin hanya didengar oleh komunitas kecil, kini justru viral karena kontroversi ini. Selain itu, fenomena ini juga mengingatkan pada kasus lain dalam sejarah musik perlawanan.Â
Pada era 1960-an, lagu-lagu protes seperti Blowin' in the Wind dari Bob Dylan atau Imagine dari John Lennon sering kali berusaha dibungkam. Namun, tindakan represif justru memperkuat makna lagu-lagu tersebut.Â
Simon Frith dalam Performing Rites: On the Value of Popular Music (1996) menyebut bahwa musik memiliki kekuatan sebagai alat politik dan sosial. Semakin keras ditekan, semakin besar dampaknya.