Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perlukah Menceritakan Tragedi Ledakan Bom Kepada Anak-anak?

29 Mei 2017   22:35 Diperbarui: 29 Mei 2017   23:27 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]

Lagi-lagi terdengar ledakan. Di Jakarta, saya mendengar kisah tentang tiga aparat kepolisian dan beberapa warga sipil yang menjadi korban bom bunuh diri. Kejadiannya di terminal Kampung Melayu, Rabu, 23 Mei lalu. Pelakunya meninggal di tempat dengan anggota tubuh yang sudah terpotong akibat ledakan terbagi menjadi kepala, kaki dan badan yang terpisah.

Hal yang sama juga terjadi sehari sebelumnya. Ledakan besar sempat membuat panik jutaan orang ketika musisi cantik dunia, Ariana Grande, tengah menggelar konser di Manchester, Inggris. Setidaknya tercatat sebanyak 19 orang tewas dan banyak lagi yang terluka akibat ledakan tersebut.

Meski aksi terkutuk itu sempat menebar teror, faktanya di Indonesia, banyak orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian pasca ledakan terjadi. Di berbagai media online, saya juga melihat begitu banyak perdebatan dari para pengamat. Mereka justru sibuk menyimpulkan siapa pelaku, dan apa motif dibalik aksi nekat tersebut. Padahal, jauh lebih baik menjadikan kejadian ini pembelajaran bagi generasi muda, ketimbang ikut menjadi analis dadakan di media sosial.

Mengapa kita perlu bercerita pada generasi muda terutama anak-anak prihal kejadian ini? Sebab, merekalah yang akan merawat bangsa ini suatu hari nanti. Kelak, mereka akan berbicara tentang solusi agar kejadian serupa tak akan terulang di masa mendatang. Mereka akan tumbuh sebagai simpul-simpul kebenaran, lalu menjaga bangsa ini dari segala macam teror dan perpecahan. Kelak, merekalah yang akan menjadikan banggsa ini menjadi rumah ternyaman bagi siapa saja. Tanpa memandang perbedaan agama dan status sosial, semuanya sama-sama bertautan dalam satu bingkai kebhinnekaan bernama Indonesia.

Namun, bagaimana kita menceritakan kepada anak-anak tentang sebuah ledakan bom? Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap bertanya tentang banyak hal kepada orang tua saya. Terkadang saya membayangkan sesuatu yang berlawanan dengan logika, lalu menyimpulkan sendiri hasilnya. Sebagai contoh, dulu saya berfikir bahwa Doraemon, Dragon Ball, dan segala figur dalam film cartoon itu benar-benar ada. Bahkan saya pernah berharap suatu saat nanti bisa bertemu dengan mereka. Itu merupakan hasil kesimpulan saya sendiri ketika belia, sebelum banyak orang memberi tahu saya yang sebenarnya.

Lalu, bagimana jika banyak anak di negeri ini mulai bertanya-tanya tentang ledakan bom di Jakarta sana? Bukankah berita itu sudah tersebar secara viral di berbagai media? Bahkan, melalui layar kecil televisi, secara berkala kejadian tragis itu masih saja diberitakan hingga saat ini. Bagaimana jika banyak anak menyimpulkan sendiri tragedi yang secara massif diberitakan itu? Setidaknya, imajinasi mereka akan terkukung pada pemikiran bahwa negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karto raharjo ini tak lagi nyaman dan aman untuk ditinggali.

Banyak orang tua yang memilih untuk tidak menceritakan berbagai kejadian memulikan di sudut negeri kepada anak-anak mereka karena alasan yang sangat sederhana. Tak ingin si anak berfikiran negatif, tekontaminasi segala bentuk paham radikal, ekstrimisme dan sebagainya. Padahal, membiarkan si anak menyimpulkan sendiri suatu fenomena jauh lebih berbahaya. Eileen Kennedy-Moore, Seorang pakar parenting Amerika, menganjurkan bahwa setiap orang tua harus berani menceritakan segala kejadian kepada anak-anak mereka sesuai dengan fakta-fakta yang sebenarnya.

Setiap orang tua tentunya ingin memberikan dunia yang aman untuk anak-anak mereka. Namun, berbohong dengan mengatakan bahwa kondisi bangsa benar-benar aman bukanlah solusi cerdas. Jostein Gaarder, dalam bukunya, The Sophie’s World menyebutkan, bahwa setiap anak adalah filosof. Kalimat ini menunjukan bahwa masa belia adalah masa dimana Banyak pertanyaan mendasar dilontarkan. Mereka berfikir laksana seorang filsuf. Bertanya tentang apa saja hingga membuat orang tua kehabisan kata-kata untuk menjawabnya.

Saya membayangkan bagaimana ketika banyak anak mulai bertanya-tanya tentang ledakan bom? Mereka akan menayakan dari mana ledakan itu, siapa yang melakukannya, lalu memuji keberanian si pelaku yang dengan gagah berani mengorbankan seonggok nyawa tanpa memperdulikan motif dibalik semuanya.

Saya membayangkan betapa setiap anak akan menimpali orang tua mereka dengan ribuan pertanyaan hanya dari sepotong kasus hingga dahaga pengetahuan mereka dituntaskan. Lalu sebagai orang tua yang bijak, bagaimana seharusnya menjelaskan kasus naaas itu kepada mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun