"Aku mau kencan yang hemat hemat saja" katanya dengan riang kala itu. Dia gamit lenganku, meresapkan hangat di tengah dingin kota Jogja yang kini sedang kemarau. Matanya tak dapat kuterka dengan jelas, apakah dia benar benar mau kuajak berpesta pora di pinggir jalan dengan hidangan mendowan, tahu isi, sate kelinci dan kopi? Yang kutahu dia sedang bergelayut mesra pada tubuhku, tubuh yang tak bisa iajamah setiap saat.
Bagaimana mungkin aku sebagai lelaki akan membiarkan bibir manisnya mengesap kopi murahan? Bagaimana mungkin akan kuizinkan dia menikmati kue kue kecil yang tak manis dan bernilai gizi? Tidak, harga diriku berteriak, aku tak mau dia memakan makanan yang sama denganku. Setidaknya makhluk langit harus diistimewakan, mungkin juga harus diberi  penghormatan sebelum prosesi perjamuan makan malam.
"Boleh aku genggam tanganmu?" tanyanya dengan manja. Entah sudah ke berapa juta kali aku tercekat setiap molekul tubuhnya merapat ke tubuhku. Rasanya masih sangat aneh. Kejutan elektron, ada pendar pendar cahaya yang tak kasat mata, atom atom yang seakan meledak di dekat pupilku, juga capung capung bersayap emas memenuhi rongga kerongkongan hingga membuatku kaku untuk sepersekian detik.
Aku diliputi gugup hingga gagap.
Aku gagal mengontrol warna emosiku. Aku selalu ingin bilang pada udara "Ah, mana sanggup aku lama lama dengan perempuan ini? Bisa bisa aku mati tertekan. Dia terlampau istimewa untukku, tolong siapa saja tampar aku untuk segera sadar" Â kemudian setelah itu aku mengendipkan mata tiga kali ke arah langit, mencoba meraih kewarasan yang sempat hilang.
Kota ini tidak seterang kota kota yang lainnya. Namun perempuanku ini seolah telah terpedaya bahkan pada lumut lumut kering yang menempel di tembok pinggir jalan. Dia bilang ada daya magis yang tak terbendung, ada tarikan yang tak bisa ia tahan. Perempuan ini bilang kota ini adalah sepertiga dari dunianya.
"Sepertiganya lagi ada di jantungmu"
Itu adalah jawaban ketika aku tanya tentang bagian dunianya yang lain.
Kami terus bergandengan melewati jalan jalan Malioboro. Ramai orang berlalu lalang, dan masih saja aku merasa bahwa aku berada pada pijakan yang sangat lain. -Hey, ini hanya Malioboro-. Tempat yang bisa aku kunjungi setiap malam. Tetapi bisa menjadi berbeda hanya karena aku dihinggapi perempuan ini.
Pada akhirnya, aku ini hanya seorang lelaki payah yang membawanya pada angkringan kecil di sudut kota. Penuh kepulan asap rokok, bau keringat lelaki, ocehan keras petualang malam. Pada akhirnya kami  meninggalkan temaram lampu kota dan merayap pada tempat dimana aku bisa melihat senyumnya dengan terang dan jelas.
"Jadi kamu sering ke sini kalau tanggal tua ya? Hahahahha"