Pagi itu, langit Tangerang belum sepenuhnya biru, tetapi jiwa kami sudah penuh warna. Bersama tim Kompasiana, kami memulai perjalanan yang tidak biasa---berjalan kaki menelusuri sisi tersembunyi Kota Tangerang, menyingkap jejak sejarah yang mungkin terlewat oleh mata biasa.
Titik awal kami adalah Stasiun Tangerang, sebuah bangunan tua yang berdiri kokoh di tengah hiruk pikuk kota. Siapa sangka stasiun ini telah ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Dulu, stasiun ini merupakan penghubung penting dalam pengangkutan hasil perkebunan ke Batavia. Kini, stasiun ini menjadi saksi bisu perubahan zaman, mengingatkan kita bahwa di balik hiruk pikuk perkotaan, terdapat sejarah panjang yang mengakar kuat.
Langkah kami berlanjut ke Pabrik Kecap Benteng SH, kecap legendaris yang menjadi kebanggaan warga Tangerang. Pabrik ini mulai beroperasi pada tahun 1920, didirikan oleh Shiong Hin. Aroma kedelai fermentasi perlahan menyambut kami, seolah membawa kami kembali ke masa lampau. Uniknya, resep kecap ini masih dilestarikan secara turun temurun hingga kini, dan sudah memasuki generasi keempat. Bagaimana rasanya? Khas gurih, penuh karakter.
Tak jauh dari sana, kami singgah ke Pabrik Kecap Istana yang usianya bahkan lebih tua dari pabrik sebelumnya. Berdiri sejak 1882, pabrik ini masih bertahan hingga kini. Jika Kecap Benteng SH dikenal dengan cita rasa gurihnya, maka Kecap Istana punya ciri khas rasa manis dan tekstur lebih kental. Dua rasa, dua pusaka, dua cerita.
Destinasi selanjutnya adalah Masjid Jami Kali Pasir, masjid tertua di kawasan Benteng. Usianya sudah 445 tahun dan punya nilai spiritual tinggi. Di pelataran masjid, terdapat makam istri Sultan Ageng Tirtayasa, menjadikan tempat ini juga sebagai tempat ziarah. Suasana sakral begitu terasa, seakan menyatu dengan sejarah yang hidup di setiap sudutnya.
Tepat di depan masjid, mengalir tenang Sungai Cisadane yang menyimpan kearifan budaya masyarakat Tionghoa. Di sinilah ritual membakar kemenyan, menebarkan bunga, dan melepaskan makhluk hidup dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan harapan. Sungai ini juga menjadi pusat perayaan tradisi Peh Cun setiap tanggal 5 bulan 5 Imlek, di mana orang-orang berkumpul untuk mengadakan lomba perahu naga, menangkap bebek, makan siomay, dan mendirikan telur. Sebuah festival rakyat penuh warna yang menyatukan generasi dan budaya.
Langkah kami kemudian membawa kami ke sebuah bangunan unik bernama Roemboer, atau rumah burung. Bangunan ini memiliki nilai arsitektur khas Tionghoa, lengkap dengan sejarah panjang fungsinya---dari tempat tinggal, restoran, hingga sekarang menjadi Museum Benteng Heritage. Bangunan ini hanya dibuka saat pemiliknya, Udaya Halim, berada di Indonesia dan setelah melakukan reservasi terlebih dahulu. Di sinilah seni, sejarah, dan arsitektur bertemu secara harmonis.
Tidak jauh dari Roemboer, kami mengunjungi Klenteng Boen Tek Bio, klenteng tertua di Tangerang yang berdiri sejak 1684. Terletak di kawasan Pasar Lama, klenteng ini tidak hanya menjadi tempat beribadah, tetapi juga ruang budaya yang secara rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan masyarakat.
Perjalanan kami berakhir di Museum Benteng Heritage yang tersembunyi di antara hiruk pikuk pasar. Bangunannya menyerupai rumah toko biasa, tetapi begitu masuk, kami langsung disambut oleh kemegahan ornamen naga emas dan deretan foto serta lukisan klasik. Dengan tiket masuk sebesar 15 ribu rupiah, kami diajak menyelami kekayaan warisan budaya Tionghoa Peranakan: mulai dari botol kecap antik, telepon tua, timbangan pasar, hingga tempat tidur pengantin dan sepatu mungil khas perempuan Tionghoa di masa lalu. Hari mulai memudar saat kami mengakhiri tur. Namun perjalanan ini bukan sekadar berjalan kaki---perjalanan ini mengajak kami untuk melihat, merasakan, dan memahami bahwa Tangerang menyimpan banyak cerita yang belum selesai ditulis. Di balik hiruk pikuk kota, ada warisan budaya yang menunggu untuk dikenal dan dilestarikan. Dan hari itu, kami bersyukur telah menjadi bagian dari upaya kecil untuk melestarikan kenangan itu.
Every story matters!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI