Eva Eryani adalah warga terakhir yang bertahan. Ia memilih tinggal seorang diri di rumahnya yang dikelilingi proyek, sebagai perlawanan. Eva tak hanya mempertahankan rumahnya, tapi juga perlindungan negara atas hak tenurial warganya.
"Saya tidak akan pergi dari rumah ini. Ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang hak kita semua," ujar Eva dalam sebuah wawancara (Bandung Bergerak, 27/7/2025).
Di Dago Elos, warga menghadapi klaim sepihak dari Muller Bersaudara yang mengaku mewarisi tanah berdasarkan dokumen Eigendom Verponding era kolonial.Â
Setelah sempat menang hingga tingkat kasasi pada 2019, warga akhirnya kalah dalam Peninjauan Kembali 2022. Ironisnya, dua dari tiga Muller kemudian divonis bersalah memalsukan dokumen waris untuk mendukung klaim tersebut. Meski begitu, status hukum tanah masih belum final.
Ketiga kasus ini memperlihatkan pola yang sama: negara gagal memberikan perlindungan hukum bagi rakyat kecil yang menguasai dan mengelola tanah secara turun-temurun.
Menghadirkan Keadilan Sosial dalam Kebijakan
Konflik agraria seperti ini menunjukkan bagaimana legalitas formal dan keadilan sosial seringkali tak berjalan selaras, bahkan tak jarang bertabrakan.
Jika posisi hukum warga memang dianggap lemah karena tak punya sertifikat, bukankah menjadi tugas negara untuk menjembatani jurang itu? Negara semestinya hadir melindungi warganya dan menjamin kepastian hukum atas hak-haknya.
Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 mengamanatkan pengakuan atas hak rakyat atas tanah yang mereka kuasai dan manfaatkan. Prinsip reforma agraria juga menekankan pentingnya redistribusi tanah serta legalisasinya yang dikelola secara konsisten oleh masyarakat kecil.
Bahkan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 menegaskan bahwa hak atas tanah bisa diperoleh bukan hanya dari dokumen formal, tetapi juga dari penguasaan nyata dan berkelanjutan.
Sayangnya, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. BPN lambat merespons permohonan legalisasi warga. Pemerintah kota kerap terburu-buru menggusur demi proyek pembangunan. Aparat cenderung menjadi alat represi, bukan pelindung hak warga.
Dalam banyak kasus, misalnya warga Tanjung Sari, Luwuk, Sulawesi Tengah, yang bahkan memiliki SHM, tetap menjadi korban intimidasi dan perampasan tanah.Â