Tentu ini hanya sebatas dugaan, sebagaimana kisah Firaun yang memutuskan membunuh semua bayi laki-laki Ibrani karena mimpi buruknya. Mungkin, penguasa memang punya ketakutan naluriah terhadap segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan---bahkan jika itu hanya sekadar engah yang membuat jengah. Seperti misofonia terhadap suara sumbang di tengah paduan suara setuju.
Klarifikasi Saja, Apakah Cukup?
Pihak Polri buru-buru melakukan klarifikasi. Terkait video permohonan maaf kepada Kapolri dan institusinya serta penarikan lagu Bayar Bayar Bayar, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian RI Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk terbuka terhadap kritik.
"Polri terus berupaya menjadi organisasi yang modern, yaitu Polri yang tidak antikritik," ungkap Trunoyudo sebagaimana dikutip Tempo, Kamis (20/02/2025).
Namun, persoalannya, tanpa tindak lanjut terhadap dugaan intimidasi yang mendorong band Sukatani menyatakan permohonan maaf dan menarik lagu mereka, pernyataan komitmen semacam itu bisa saja diartikan sebagai bentuk pembiaran (acts of omission).
Kita tentu tidak membayangkan bahwa para penguasa melakukan semua tindakan represif sendiri. Tak terbayang jika seorang diktator harus memasukkan satu per satu tawanan ke kamp konsentrasi. Semua kediktatoran dan otoritarianisme selalu melibatkan tangan-tangan lain: menutup mata, membiarkan, dan, pada akhirnya, mengambil keuntungan dari kebengisan yang dilakukan orang-orang yang dengan sukarela menjalankan pekerjaan kotor tersebut.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan membiarkan engah sekecil apa pun dipadamkan dengan cara semacam ini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI