Halo teman-temanku semua. Salam hidup sehat dan tetap semangat!
Kali ini aku akan kuceritakan salah satu momen terindah dari suasana bulan Ramadhan bagiku pada saat masa kecilku. Yuk, terus baca tulisanku ini karena apa yang kutuliskan ini adalah sebuah kisah nyata dalam hidupku, bukan sebuah karangan atau imajinasiku semata.
Bogor, kota yang terletak sekitar 60 km jauhnya dari Monas atau pusat Jakarta ke arah selatan itu, adalah kota yang memberikan nostalgia suasana Ramadhan yang indah pada masa kecilku.
Bogor dikenal juga sebagai kota hujan karena intensitas hujan di kota ini lebih tinggi dan lebih sering jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain. Hujannya disebut hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi di daerah pegunungan. Ini adalah hujan yang terjadi karena udara yang banyak mengandung uap air dari laut, dalam hal ini Laut Jawa, naik dan bergerak memasuki daerah pegunungan, lalu akhirnya langsung berubah menjadi air hujan.
Kamu tahu 'kan kalau ada dua gunung yang mengepung wilayah Bogor? Ya, betul itu. Gunung Salak dan gunung Gede adalah dua gunung yang mengepung wilayah Bogor. Itu sebabnya, selain menjadi faktor penyebab terjadinya hujan orografis, kedua gunung tersebut telah membuat kota Bogor yang terletak di ketinggian antara 190-330 mdpl itu memiliki udara yang relatif lebih sejuk dibanding Jakarta.
Angin sejuk dari kedua gunung tersebut tidak saja telah membuat ratusan, bahkan ribuan kalong untuk betah bergelantungan seharian di ketinggian pohon-pohon yang ada di Kebun Raya Bogor. Mereka terlihat dapat beristirahat dan tidur dengan nyenyak dari pagi sampai matahari terbenam setelah bekerja mencari makan di sepanjang malam hingga jelang pagi hari.
Sedangkan kalong saja merasa nyaman dengan sejuknya udara kota Bogor, apalagi aku. Tapi aku bukan kalong lho. Hohoohooo...!
Memang benar kok, aku merasa nyaman diam di dalam rumah walaupun tidak ada AC (pendingin ruangan) pada saat itu. Rasanya semua orang Bogor pada saat itu pun akan sependapat dengan aku. Tapi  itu dulu, pada tahun 1970-an. Sekarang? Sepertinya AC sudah menjadi suatu kebutuhan, termasuk bagi penduduk kota Bogor. Betulkah? Bagaimana menurut pendapatmu? Hmmm....
Kota Bogor memang sejuk. Tapi yang lebih sejuk dari sejuknya udara kota Bogor bagiku pada tahun 1970-an itu adalah kesejukan yang dipancarkan dari kehidupan seorang pria muslim yang rumahnya persis bersebelahan dengan rumah kami.
Pak Suganda. Demikian nama panggilan bapak itu, tetangga kami, saat kami tinggal di kota Bogor.
Tiada hari tanpa senyuman, tiada hari tanpa sapaan. Hari-harinya selalu diisi dengan kebaikan, apalagi pada saat bulan Ramadhan. Itulah sosok diri seorang Pak Suganda yang langsung dalam benakku terbayang secara spontan.