Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pesta di Tengah Wabah, Momentum Emas atau Membuat Cemas?

9 Desember 2020   17:56 Diperbarui: 9 Desember 2020   18:18 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukman Hamarong (dok. pribadi)

"Pemilihan umum telah memanggil kita. Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila. Hikmah Indonesia merdeka". Penggalan awal lirik lagu Mars Pemilu ini mengajak kita untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan ini dengan hati yang senang dan gembira. Narasi-narasi kegembiraan ditempatkan di awal lagu tentu punya tujuan dan pesan.

Sang pencipta lagu pun ingin kontestasi elektoral ini menjadi inspirasi semua orang, bagaimana menyambut pemilu dengan hati riang dan rasa gembira, bukan dengan ujaran-ujaran kebencian yang bisa saja menciderai nilai-nilai demokrasi dan merusak muruah pemilu itu sendiri. Selayaknya pesta yang lain, pesta demokrasi pun harus dihadapi dengan kegembiraan.

Saya tak habis pikir, Pilkada selalu saja dimaknai sebagai arena peperangan atau pertempuran. Padahal Pilkada hanyalah sebuah pertandingan. Di mana setelah bertanding, semua kembali bersalaman dan saling rangkul. Kompetitor tidak saling bermusuhan, mereka hanya beradu gagasan. 

Jadi, berhentilah mengeksploitasi narasi-narasi militeristik dalam Pilkada. Peran kita menjadi penting untuk mengedukasi masyarakat, bagaimana membangun narasi kegembiraan dalam pesta demokrasi. Namanya saja pesta, bukan? Pesta jauh dari kesan menyeramkan, tapi sangat dekat dengan kegembiraan.

Namun, tulisan saya kali ini, tidak terlalu jauh membahas tentang pemilu atau Pilkada yang menggembirakan dan Pilkada yang menyenangkan, karena sejatinya hanya orang-orang yang tak paham esensi Pilkada yang menjauhkan Pilkada dengan muruah demokrasi itu sendiri, yaitu menghargai perbedaan, tetap menjaga silaturahmi walau berbeda pandangan politik, serta menyambutnya dengan hati yang senang dan gembira.

Pilkada yang digelar serentak di 270 daerah di-Indonesia pada 9 Desember 2020 ini, adalah Pilkada yang juga digelar di masa pandemi Covid-19. Tentu ada kekhawatiran Pilkada akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 di Indonesia. 

Ini adalah ancaman nyata yang bisa saja menjadi nyata jika semua pihak, termasuk para wajib pilih, abai terhadap protokol kesehatan. Ibaratnya bom waktu, akan meledak kapan saja dan di mana saja.

Namun saya yakin, pemerintah dan penyelenggara pemilu sebagai otoritas kepemiluan yang eksklusif di Indonesia punya langkah antisipatif untuk menciptakan Pilkada yang sehat, bebas Covid-19. 

Apalagi Bawaslu, sebagai salah satu instrumen pemilu yang bertugas mengawasi jalannya pemilu yang bersih, juga mendapat tugas tambahan untuk mengawasi penegakan protokol kesehatan Covid-19 selama proses dan tahapan Pilkada berlangsung.

Menggelar pesta di tengah wabah adalah tantangan tersendiri. Apakah ini keputusan yang bermanuver ataukah blunder, semua masih harus dibuktikan usai Pilkada. 

Pilkada kali ini juga menjadi momentum emas, sekaligus momentum yang bisa membuat cemas. Pilkada bisa menjadi momentum emas jika pengetatan protokol kesehatan tetap menjadi prioritas bagi masyarakat pemilih, sehingga risiko penularan Covid-19 tidak terjadi, dan daerah yang menggelar Pilkada mendapatkan pemimpin yang legitimate.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun