Kalau bicara soal kendaraan ramah lingkungan, biasanya kita langsung fokus ke produknya: mobil listrik, desainnya yang futuristik, atau performa baterainya. Tapi sebenarnya, yang tak kalah penting adalah proses pembuatannya hingga daur ulang komponennya. Karena, apa jadinya kalau baterai mobil listrik sudah tidak terpakai? Apakah otomatis jadi limbah berbahaya?
Nissan punya jawaban yang cukup menarik. Mereka tidak hanya fokus bikin mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle/BEV) atau hibrida berbasis baterai, tapi juga menyiapkan ekosistem baterai setelah "pensiun" dari mobil.
Dalam pernyataan resminya, Nissan bilang:
"Selama masa pakainya, mobil listrik menghasilkan emisi jauh lebih sedikit dibanding mobil konvensional. Tapi untuk keberlanjutan nyata, baterainya juga harus diberi kehidupan kedua."
Dari Leaf ke Proyek Blue Switch
Cerita ini bermula dari pengembangan Nissan Leaf generasi pertama. Para insinyur sadar bahwa mobil listrik tidak boleh cuma soal performa, tapi juga harus sejalan dengan isu global soal energi dan lingkungan. Dari situlah lahir proyek Nissan Blue Switch --- menjadikan mobil listrik sebagai sumber daya darurat yang bersih, senyap, dan bisa digunakan ketika terjadi bencana.
Nah, di balik semua itu ada tantangan besar: baterai. Begitu mobil listrik sudah tidak digunakan, baterainya sering dianggap tidak bernilai lagi. Nissan ingin mengubah persepsi itu.
Lahirnya 4R Energy Corporation
Sebelum Leaf resmi dipasarkan pada Desember 2010, Nissan sudah menggandeng Sumitomo Corporation untuk mendirikan 4R Energy Corporation. Namanya diambil dari empat pilar:
- Reuse (gunakan kembali)
- Refabricate (dibuat ulang)
- Resell (dijual kembali)
- Recycle (didaur ulang)
Tujuannya jelas: memastikan baterai mobil listrik bisa punya nilai jangka panjang, bahkan setelah tidak lagi dipakai di kendaraan.