Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pembunuhan Supporter The Jak Mania, Efek Ajakan Berantem yang Mulai Menuai Hasil

25 September 2018   08:40 Diperbarui: 25 September 2018   09:20 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tuitan di Twitter pasca terbunuhnya salah satu dari The Jak Mania yang menonton pertandingan away kesebelasan yang didukungnya menunjukkan adanya magma permusuhan yang laten dan kelam. Bukannya menyesali atau merutuki pembunuhan tersebut dan malahan menyajikan ekspresi kesukariaan hal tersebut terjadi. Menganggap pembunuhan tersebut merupakan ekses dari sebuah konflik yang memang sudah terbangun puluhan tahun.

Kasus pembunuhan dari sebuah output perseteruan klasik tersebut bisa jadi bagian dari efek perselisihan yang juga klasik antara petahana dan penantangnya. Apalagi ditambah dengan sebuah ajakan untuk berantem secara massif. Kenapa massif? Karena agitasi yang disuarakan disampaikan di depan ratusan hulubalang yang akan menjadi korlap alias koordinator lapangan di masing-masing area.

Kematian satu orang supporter Persija itu hanyalah secuil dari gunung es kebencian yang diciptakan. Dan konyolnya petahana yang seharusnya menjadi figur pemersatu malahan terjebak menjadi kelompok dari dua kubu yang membelah berdasarkan kepentingan. Opini ini kian menjadi saat petahana tidak merasa perlu mendinginkan lahar panas antara dua daerah yang berdekatan yang bisa jadi akan saling membunuh. Tinggal menunggu waktu saja.

Petahana yang disibukkan oleh keinginan untuk meneruskan kuasanya menguburkan kewajibannya mendinginkan suasana perang yang terbangun. Boro-boro mendinginkan antar supporter, perintah untuk menyukseskan ambisinya melanjutkan kekuasaannya mencerabut nalar kepala daerah agar terlibat lebih intens menyelesaikan permasalahan sosial yang ada. Keterlibatan para kepala daerah yang diarahkan menjadi timses dari petahana semakin menjauhkan pelayanan daerah kepada rakyatnya. Kooptasi kewajiban kepada rakyat dengan kepatuhan kepada perintah pusat mulai menuai hasil.

Persekusi yang kian intens dilakukan ormas binaan pemerintah mulai mendapatkan perlawanan balik. Simbol-simbol perlawanan kepada simbol-simbol pemerintahan mulai ramai didapatkan di internet. Meski mass media pelacur yang abai untuk mewartakannya sebagai bagian dari tugas jurnalistik. Di pulau Sumatera mulai berulang penolakan balik atas keinginan kubu petahana melakukan kampanyenya. Lembaga-lembaga adat masih waras untuk bersikap netral karena pemimpin mereka sudah runtuh kredibilitas dan obyektifitasnya.

Lihat saja saat deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan oleh KPU dimana arogansi kubu petahana yang mencorengnya dengan tindakan-tindakan provokasi yang kasat mata terlihat sehingga beberapa ketua umum parpol memilih untuk meninggalkan tempat lebih cepat dari rencana semula. Dan kubu petahana merasa mereka tengah diatas angin tanpa perlu meminta maaf atas sikap-sikap tidak sportif yang dipertontonkan.

Waktu terus bergulir. Para penentang petahana tidak akan surut satu langkah pun untuk meraih kembali kemenangan yang mungkin (berdasarkan beberapa pendapat yang beredar) periode lalu di rampok --misalnya-- oleh kecanggihan teknologi dan diamnya para pemangku pertahanan dan keamanan. Memilih untuk mendiamkan kecurangan yang sistemik demi menjaga Indonesia tetap utuh.

Indonesia yang malahan masuk ke dalam pusaran kegelapan dimana kepala negara malahan menganjurkan untuk berperang secara terbuka dan menafikan bahwa separuh dirinya adalah pemimpin negara dan lebih menuruti insting dan keinginan untuk berkuasa mengalahkan nalar dan akal sehatnya. Dan kini efek psikologis yang terbangun sudah mulai bisa di panen.

Perselisihan, persekusi hingga pembunuhan mulai terjadi dan nampak di depan mata. Bahkan seorang kyai sepuh yang meruntuhkan marwahnya dengan mulai menyebutkan ormas yang dia pimpin tidak pernah merilis fatwa tentang keharaman mengucapkan selamat natal hanya untuk sekedar mendapatkan suara yang kelak akan  menjatuhkan pilihan kepada pasanganya dan kemaren mulai untuk berjoget dangdut ria. Sungguh, miris dan prihatin.

Salam Ujung Kaki Langit!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun