Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya Muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Ilusi Indonesia Bubar dan Janji Kampanye Jokowi

20 April 2018   09:52 Diperbarui: 20 April 2018   10:17 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernyataan Prabowo tentang memungkinkannya Indonesia bubar di tahun 2030 memicu beragam sikap dan reaksi. Mulai dari menyatakan Ketua Umum Gerindra tersebut terlalu pesimis dan diamuk oleh rasa ketakutan yang konyolnya berdasarkan sebuah novel fiksi karang Peter Warren Singer, Ghost Fleet - The Next World War.

Sebuah karya fiksi yang menggambar situasi konflik yang bisa memicu peperangan besar antara Amerika dan Cina - Rusia. Latar belakang dunia militer yang penuh dengan konsumsi strategi dan asumsi-asumsi berbasis eskalasi situasi yang dinamis membuat Prabowo terlihat begitu "hanyut" memaknai situasi yang pada tataran realitas seperti memiliki kesamaan konstruksi dengan karya fiksi tersebut.

Bagi penulis, kesalahan fatal dari pernyataan Prabowo tersebut adalah, menyampaikannya di eufaria keinginan menang Jokowi dan para pendukungnya. Apalagi para pendukung Jokowi yang menurut beberapa survei, --katanya-- didominasi oleh publik yang tingkat intelektualitas dan pendidikannya rendah.

Sebagian besar basis  pemilih Joko Widodo memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal ini  diketahui dari survei Media Survei Nasional (Median) 1-9 Februari 2018. Dari responden yang mengaku tidak tamat SD, sebanyak 40,9 persen memilih  Jokowi. Lalu, dari responden yang mengaku tamatan SD, sebanyak 39  persennya juga menjatuhkan pilihan ke Jokowi. Basis pemilih Jokowi  semakin kecil di tingkat pendidikan SMP (37,4 persen), SMA (27 persen),  S1 (13,7 persen) dan S2/S3 (10 persen). 

"Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin rendah basis pemilihnya," kata Direktur Eksekutif Median Rico Marbun saat merilis hasil surveinya  di Jakarta, Kamis (22/2/2019).

Jadi jangan kaget tingkat literasi pendukung Jokowi tidak begitu tinggi dan itu terkorelasi dengan pengetahuan tentang situasi bilateral dan isu-isu yang tengah berkelindan di peta politik dunia. Bagi pendukung Jokowi, politik adalah dinamika dalam negeri. Tapi entah kenapa mereka antusias memuja-muji aksi Jokowi saat di Afghanistan. Padahal negara Taliban tersebut tidak lagi memiliki isu yang strategis bagi Indonesia kecuali mencari muka kaum muslim Indonesia.

Pernyataan Prabowo tersebut kemudian sontak di respon langsung oleh Jokowi saat bertatap muka dengan para relawan pendukung di Konvensi Nasional Galang Kemajuan, di Bogor beberapa saat lalu. Dengan ekspresi yang berbeda dari beberapa kali Jokowi ber-orasi, terlihat petahana ini menekankan pentingnya optimisme. Percaya Indonesia "akan baik-baik saja".

Nanti dulu. Seperti penulis pernah sampaikan bahwa sikap-sikap politik Jokowi tidak bisa serta merta diartikan sebagai aksi-aksi optimisme karena dalam beberapa kasus atau topik terlihat mantan Gubernur DKI beberapa bulan ini lebih ke arah under-estimate atau melakukan over-simplifikasi, terlalu menyederhanakan sebuah kondisi yang seharusnya perlu kajian dan analisa yang komprehensif. 

Dalam sesi debat capres periode lalu Jokowi mengatakan bahwa untuk urusan teknologi seputar e-Gov dan lain-lain hanya membutuhkan "willingness"  Dalam pernyataannya, Jokowi mengatakan bahwa penerapan e-Gov itu mudah saja dilakukan.

 "Panggil saja programmer, tidak ada dua minggu bisa dirampungkan.". Nah statemen sangar ini dahulu diucapkan Jokowi di panggung dengan mimik yang sangat pede banget. Faktanya?

Pada akhirnya pemerintah era Jokowi menandatangani nota kesepahaman (MoU) e-government dengan Singapura mengundang kritik dari DPR. Anggota Komisi VI DPR  Bambang Haryo Soekartono secara tegas menentang kebijakan tersebut.  Dia mengatakan, kedaulatan Indonesia tetap harus menjadi prioritas  dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK. Hal itu  mengingatkannya tentang polemik yang ditimbulkan perihal kerjasama data center di Singapura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun