Kegaduhan menyambut tahun kontestasi 2019 membuat publik sedikit abai dengan seorang pandita, atau mungkin lebih tepat di sebut sebagai calon pandita. Sebuah sebutan bagi manusia yang mulai menjauh dari hiruk-pikuk dunia dan memilih untuk "lengser keprabon". Persis seperti ujaran Pak Harto sesaat menyatakan "ora pathek-en" jika tidak bisa untuk kembali menjabat sebagai presiden untuk ke-sekian kalinya.
Jusuf Kalla beberapa minggu terakhir betul-betul luput dari sorotan publik dan mass media yang lebih getol mencari tahu siapa cawapres Jokowi untuk pilpres 2019 nanti karena hasil beberapa survei, baik dari pollsters yang independen atau sejumlahsurveyoryang abal-abal besutan para hulubalang Jokowi menunjukkan tren negatif. Jumlah persentase yang kian mengkerut seiring dengan adanya hastag #2019GantiPresiden yang di besut oleh sebagian besar publik yang mulai gerah dengan minimnya prestasi Jokowi sebagai petugas partai.
Pria kelahiran Bone, dengan ciri khas kumis tipis menghias diatas bibirnya tersebut betul-betul menampakkan profil politik saat ini, pragmatisme. Jokowi yang merasa tidak akan bisa lagi mengerek elektabilitasnya melalui pesona Kalla perlahan tapi pasti mulai beringsut menjauh. Lagipula memang Jokowi dan Jusuf Kalla pada akhir-akhir jabatannya mempertunjukkan kepada publik adanya ketidakluwesan koordinasi mereka. Misalkan saat awal tahun kemaren tentang impor beras. Kalla menunjukkan ketidaksetujuannya sementara Jokowi berharap adanya impor beras tersebut bisa menegaskan sikap politiknya yang anti impor,..eh maaf salah. Jokowi pro swasembada pangan Thailand.Â
Jusuf Kalla telah di buang. Atau bisa jadi, Jusuf Kalla memilih untuk menjauh dari episentrum yang akan menjadi gempa besar di 2019. Wakil Presiden ini seakan memiliki indera ke-enam untuk merasakan geliat dan resonansi kejengkelan publik atas prestasi abal-abal yang tidak jelas dari pemerintahan sekarang selain nge-vlog dan pamer kemesraan di hujan buatan.
Menghilang dan menjauh adalah pilihan skeptis memang. Tapi jauh lebih terasa manfaatnya bagi Jusuf Kalla jika dirinya hanya berfungsi sebagai kelengkapan fitur pemerintahan. Hulubalang Jokowi memang sejak awal pemerintahan seakan "parno" dengan kehadiran Jusuf Kalla. Istilah matahari kembar-lah, pengkhianat-lah dan seabreg tudingan konyol dari simpatisan Jokowi. Padahal semenjak di lantik hingga sekarang, prestasi fenomenal Jokowi adalah saat gagah berorasi di depan para pendukung die harder-nya sambil mengepalkan tangan berteriak,"Â kaos tidak akan bisa menggantikan saya".
Sebuah pidato yang inspiratif bukan?
Mending ngacir Daeng, suasana kesumat sudah tidak lagi terperi di lingkaran timses Jokowi menjelang 2019. Pasukan cyber, juru edar Sembako dan beberapa pihak yang sudah jauh-jauh hari mem-baiat diri mereka sebagai jurkam lebih menarik perhatian Jokowi ketimbang perihal yang lebih substansial. Pergi ke Asmat setelah di-kartu kuning, korban miras oplosan yang berjatuhan tapi gagal menarik minat Jokowi untuk press releasetentang sikap pemerintahannya yang menurut sebagian pihak berpendapat bahwa konsumsi miras oplosan itu tinggi karena efek dari stres atau tidak kuatnya lagi rakyat atas himpitan persoalan kehidupan saat ini.
Situasi Indonesia saat ini memang membuat Jusuf Kalla -bisa jadi- memilih untuk lebih intens ke kehidupan pribadinya tanpa perlu meminta tolong para penyeru sorak menyebarkannya di Twitter, Facebook atau linimasa lainnya. Biar terlihat seperti Dilan.
Salam Ujung Jari!