Mohon tunggu...
Mahfuz Imam
Mahfuz Imam Mohon Tunggu... Guru

Semoga Anda berkenan menerima setiap kata yang entah bermakna atau tidak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nilai Jahanam

12 September 2025   12:05 Diperbarui: 11 September 2025   22:05 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat itu di kelas XII, sekitar tahun 2017, kami tengah membandingkan puisi Sapardi Djoko Damono, Kahlil Gibran, dan Ahmadun Yosi Herfanda dalam diskusi sederhana. Di penghujung diskusi, saya menawarkan kepada murid untuk membacakan sepucuk puisi karya Ahmadun. Awalnya tak ada yang berani, bahkan seorang anak menyatakan ogah membaca puisi. Entah mengapa dia begitu antipati.

Kemudian seorang anak mengacungkan tangan dan berkata: "Pak, yang maju dapat nilai tambahan gak?"

Saya menghela napas. Untuk kesekian kalinya pertanyaan itu saya dapatkan. Agak kesal sebenarnya. Mengapa pendidikan selalu tentang nilai berupa angka-angka durjana? Seolah sudah tertanam dalam alam bawah sadar setiap murid untuk mengukur segala sesuatu dengan angka. Sehingga sebuah apresiasi terhadap puisi saja harus pamrih dengan nilai berbentuk angka.

Hal itulah yang pelan-pelan coba saya ubah dalam pikiran setiap murid yang saya ajar. Proses pembelajaran memang membutuhkan penilaian, tetapi bukan itu tujuan utama belajar. Sialnya, orientasi terhadap nilai masih melekat erat di kepala murid-murid. Saya yakin banyak yang sepaham dengan saya. Banyak pula teman-teman guru yang berjuang melawan stigma tersebut.

Saya benarkan posisi duduk dan menatapnya, kemudian dengan terpaksa keluarlah kalimat dari mulut saya: "Jika kalian membaca puisi hanya ingin mendapatkan nilai tambahan, sebaiknya tidak usah dilakukan! Kalian tak akan dapatkan itu dari saya. Saya tidak mengajarkan tentang bagaimana mendapatkan nilai bagus membanggakan, tetapi kita sedang belajar tentang nilai kehidupan, kemanusiaan, dan ketuhanan."

Mendengar kalimat tersebut, beberapa murid tersenyum. Adapula yang diam melongo. Si penanya tak bisa berkata apa-apa. Selanjutnya terjadi diskusi tentang nilai. Perbandingan mana yang lebih penting antara nilai angka dengan nilai-nilai kehidupan. Mereka mulai mengangguk-angguk. Saya kembali menawarkan untuk membaca puisi. "Jadi, siapa yang mau membaca puisi?" Mereka saling lirik. Entah ragu atau malu-malu.

Kemudian murid lain yang diberikan keistimewaan oleh Allah tiba-tiba mengacungkan tangan. Dengan sedikit gagap dia berkata" "Ss... Sa.. Saya, Saya mau baca, Pak!"

Saya sumringah. Sambil bertepuk tangan, saya persilahkan ia membaca di depan. Dengan gayanya yang unik dan nyentrik, diselesaikannya Ahmadun dengan sangat baik.

Selanjutnya berbondong-bondong murid lain mengajukan diri untuk membaca, termasuk salah seorang murid yang sejak awal antipati dan ogah membaca puisi. Tak ada nilai tambahan atau nilai berbentuk angka apapun dalam pelajaran waktu itu. Semua mengalir begitu saja dalam tawa dan penghayatan.

Pelajaran kami tutup dengan pembacaan puisi Ahmadun oleh saya setelah beberapa anak memaksa tentunya: "Gantian Pak!" Kata mereka. Saya mengiyakan saja.

Dengan gaya seadanya sembari mengingat bagaimana orang-orang membaca Sembahyang Rumputan milik Ahmadun, kuselesaikan pembacaan puisi untuk mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun